BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Setiap bangsa atau peradaban dunia
memiliki karakter keberagaman masing –masing yang unik. Karakter dan
keberagaman tersebut terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya
masyarakat se-iring dengan kemajuan peradabaan dunia yang mengalami perubahan
secara global. Dan bahkan setiap bangsa memiliki ciri khas karakter dan
kualitas kebudayaan tradisi tersendiri yang secara instrinsiknya ada, tidak ada
ataupun yang bersifat superior satu sama lainnya.
Seperti dalam hal pembentukan
sistem hukum yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya masyarakatnya.
Seperti yang dikatakan Von Savigny,
sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu
tindakan yang bebas (arbitrary act of a
legislator ), tetapi dibangun dan dapat di temukan di dalam jiwa
masyarakat.
Secara hipotesis hukum dapat
dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya di buat melalui suatu
aktivitas hukum (juristic activity ).
Seperti akar dari ketatanegaraan
suatu negara dapat dilihat dan demikian bisa dilacak dari sejarah bangsa itu
sendiri. karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar
kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan
atau cita-cita bersama.
Seperti yang terjadi dalam
perjalanan sejarah hukum nasional indonesia, istilah yang di kenal hukum adat
(adatrecht) pertama kali di perkenalkan oleh seorang ahli hukum kebangsaan
belanda bernama Snouck Hurgronje
dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”.
Namun, sejak Van Vallenhoven
memperkenalkan serta memopulerkan adatrecht dalam bukunya ,“Het Adatrecht Van Nederland-Indie”.
Hukum adat merupakan bagian dari
hukum kebiasaan yang memuat suatu sebab akibat terjadi nya suatu perbuatan atau
peristiwa hukum yang dimana perbuatan tersebut apabila melanggar ketentuan –ketentuan kaidah-kaidah akan mempunyai akibat hukum.
Sebaliknya kaidah-kaidah tersebut mempunyai akibat
yang sama seperti akibat-akibat hukum di Negeri Belanda, meskipun wujudnya berbeda-beda di kalangan orang
indonesia sendiri,kaidah –kaidah yang mengatur hidup bersama disebut”Adat”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat?
2.
Bagaimana perkembangan sejarah hukum adat Indonesia ?
3.
Apa saja Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam
masyarakat Hukum adat Belitung ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan keadaan hukum adat daerah Belitung ?
2.
Mendeskripsikan peristiwa historis perjalanan sejarah
budaya tradisi lokal masyarakat daerah Budaya Belitung.
3.
Dan merupakan sebagai salah satu tujuan untuk pencapaian
nilai mata kuliah Hukum Adat, serta penyambung dan penyampai materi dari Mata Kuliah
tentang Hukum Adat Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Apa
yang dimaksud dengan Hukum Adat ?
Hukum adat atau yang biasa dikenal
dengan adatrecht merupakan suatu sistem pengendalian sosial (social control). Dimana sistem itu adalah
sesuatu yang tumbuh dari hidup dalam masyarakat indonesia. Menurut pendapat Prof.Dr.C.Snouck Hungronje dalam bukunya
berjudul “ De Atjeher”1894, menamakan
sistem pengendalian sosial yang hidup dalam masyarakat indonesia.
Adapun istilah lain dari kata Hukum
adat yang dalam perundang-undangan Hindia Belanda yaitu istilah –istilah yang
di gunakan untuk menunjukkan/menamakan sistem pengendalian sosial itu antara
lain:
Godsdienstige
Wetten (Undang-Undang Agama), yang terdapat dalam Pasal 75
ayat 3 R.R disamping instellingenen
gebruiken.(Lembaga-lembaga dan kebiasaan)
Pasal 78 ayat 2 R.R. digunakan
istilah ouder herkomsten artinya
kebiasaan –kebiasaan lama (kuno)
Pasal 71 ayat 3 R.R digunakan
istilah Instellingendes Volks artinya
Lembaga-Lembaga Rakyat
Pasal 11 A.B. Volksinstellingen oleh pembuat undang-undang untuk menunjukkan
hukum yang berlaku bagi golongan Bumi Putera.
Dalam kepustakaan selain istilah
–istilah tadi seringkali di gunakan istilah-istilah tadi seringkali di gunakan
istilah-istilah lain misalnya:
1. Volksrecht
artinya hukum rakyat, istilah yang berasal dari Mr.Beseler.
2. Maleischt Polynesissrecht
yang antara lain pernah di gunakan oleh Prof.C.Van
Vollenhoven.
Istilah ini oleh Van
Vollenhoven dimaksudkan untuk menamakan, Hukum Indonesia yang paling asli.
Tadi disebutkan bahwa untuk menamai
sistem yang tumbuh di kalangan orang indonesia telah di gunakan istilah godsdienstige
wetten (Undang –undang Agama). Istilah ini rupa nya timbul sebagai akibat dari penganut yang di namakan teori receptio in complexu yang di lancarkan
oleh Mr.L.W.C.Van Den Berg.
Menurut teori ini, hukum f
masyarakat atau bangsa adalah hukum dari agama yang di peluk oleh masyarakat
atau bangsa yang bersangkutan. Dari sejarah kita mengenal bahwa istilah Hukum
Adat yang sekarang kita pakai adalah berasal dari bahasa belanda yaitu sebagai
terjemahan dari istilah adatrecht.
Istilah
hukum adat adalah nama yang diberikan kepada sistem hukum atau sistem
pengendalian sosial yang bangkit tumbuh dan hidup disebabkan oleh dan hidup di
dalam pergaulan hidup indonesia. Dari terjemahan bahasa belanda telah
disebutkan bahwa yang pertama kali mengistilahkan adat adalah Snouck Hurgronje,bukunya yang berjudul “The Art Jehers die reactsgevolgen hebben”,
artinya adat yang mempunyai akibat hukum. Jadi, hukum adat yaitu mempunyai
akibat seperti akibat hukum yang terdapat di negeri Belanda.
Adapun pandangan –pandangan pendapat para ahli yang
mendefinisikan tentang hukum adat sebagai berikut.
Bellefroid
“peraturan hidup yang meskipun
tidak di undangkan oleh pengusaha tetapi di hormati dan di taati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan tersebut berlaku sebagai hukuman”.
Van
Vollen Hoven
“Hukum yang tidak bersumber kepada
peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat
kekuasaan lainnya yang menjadi sandinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan
belanda dahulu”.
Ter
Haar
“Hukum adat lahir dari dan di
pelihara oleh keputusan –keputusan para warga masyarakat hukum terutama
keputusan beribawa dari kepala –kepala rakyat yang membantu pelaksanaan
perbuataan hukum atau keputusan para hakim yang bertugas mengadali sengketa
,sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat
melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut,diterima dan diakui atau
setidak-tidaknya di toleransi oleh nya”.
Hukum adat itu adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionalis hukum
(dalam arti yang luas meliputi: eksekutif ,yudikatif yang mempunyai wibawa
(Macht authorty ))serta pengaruh dan pelaksanaannya berlaku serta (spontan)
dapat di patuhi dengan sepenuh hati.
Jadi, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum
tidak tertulis atau hukum yang tidak dikodifikasikan yang mempunyai sanksi serta merupakan peraturan hidup
yang tidak di undang-undangkan tetapi di hormati dan di taati oleh rakyat dengan keyakinan sepenuh hati atau
merupakan suatu peraturan yang lahir dan tumbuh dari masyrakat asli indonesia
yang di jaga dan di peihara yang mempunyai wibawa (macht authorty) serta
pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan).
B. Sejarah Hukum Adat Indonesia
Sejarah menunjukkan sebelum
kedatangan orang barat di tanah air sudah ada dalam masyarakat manusia. Dimana
masyarakat hidup dalam suasana yang tertib. Jadi jauh sebelum kedatangan orang
barat di tanah air kita sudah ada sistem hukum. Sebelum orang barat datang
dikalangan bangsa indonesia sudah terdapat orang yang memberikan perhatian
kepada sistem kaidah yang bertujuan untuk menegakkan ketertiban yang adil. Seperti misalnya Darwangsa, Gajah
Mada, Kanaka.
Hukum adat, yaitu merupakan suatu
perkataan, maka hukum adat pun pada dasarnya adalah suatu perkataan, tiap
perkataan adalah cara mewujudkan aktivitas berbahasa.
Bahasa adalah komunikasi antar manusia, artinya bahasa adalah alat untuk
menyatakan isi hati kepada manusia lain, sehingga dapat dipahami.
Bahasa hukum, bahasa dari sekelompok orang yang memberikan
pengertian pada seluk beluk dan problema-problema atau bahasa hukum adalah cara
untuk menyatakan nilai-nilai hukum. Karena itu dapat dikatakan bahasa hukum
adalah bahasa dari sekelompok sarjana hukum (juris – tenstand).
Darmawangsah Gajah Mada dan Kanaka
adalah pelaksana hukum yang perhatiannya pada hukum hanyalah sejauh terdorong oleh usaha dan
tanggung jawabnya untuk menegakkan ketertiban yang adil menurut keyakinan dan
perasaan tentang adil dan tidak adil. Jadi orang ini tidaklah tertarik pada
hukum seperti hal nya sarjana hukum yang tertarik kepada masalah hukum, masalah
hukum sebagai suatu masalah ilmiah.
Hukum pada dasarnya ekspresi
(pernyataan) dari pikiran dan peranan manusia tentang adil dan tidak adil, yang
tumbuh dalam masyarakat. Wujud konkrit hukum adalah berupa kaidah. Jadi kaidah
ditentukan mana yang adil dan tak adil.
Adil dan tidak adil berarti
menilai. Tata hukum sebagai keseluruhan merupakan penilaian, atau merupakan
perwujudan tata nilai (system of values). Yang menilai adalah manusia, yaitu
tingkah laku dalam pergaulan hidup.
Menurut W.Friedmann penilaian
tentang adil dan tidak adil, berpangkal pada man’s reflection on his position
in the universe.
Penglihatan manusia tentang
individu dalam pergaulan hidup adalah pandangan manusia tentang kehidupan dan
dunia. Jadi disadari atau tidak, tingkah laku seseorang dan penilaian tentang
tingkah laku itu dipengaruhi oleh falsafah hidup yang dianut.
Pertama kali memberikan perhatian
pada hukum kepada masalah penertiban hidup bersama, secara ilmiah adalah orang
belanda.. orang belanda pada masa lampau memberikan perhatian dan mempelajari
kaidah-kaidah yang ditaati orang indonesia, mereka mempelajari berdasarkan pada
pandangan, penglihatan, tentang tempat individu dalam pergaulan hidup di dunia
barat.
Dalam kata lain orang belanda
dipengaruhi oleh filsafah hidup barat. Alam pikiran orang belanda mempelajari
gejala sistem kaidah indonesia adalah filsafah yang tumbuh pada zaman
renaisance.
Untuk lebih memahami masalah yang
sedang dipelajari perlu dilakukan peninjauan secara historis.Pada abad
pertengahan kedua yaitu pada zaman feodal, eropa menganggap manusia tidak ada
artinya sama sekali bila dilepas dari tuhan. Abad pertengahan yaitu kira-kira
sampai tahun 700 – 800 masehi.
Renaisance berarti manusia
menemukan kembali kepribadiannya. Yang berlandaskan faham individualisme, yaitu
faham yang berpangkal pada postulat bahwa manusia ddilahirkan bebas sama
sekali, serta masing-masing mempunyai kekuasaan yang penuh.
Berarti yang berdasar pada men are created free and equal dimana
dalam bidang persoalan hukum di dasarkan individualisme, maka masalah keadilan
adalah seberapa jauh individu, dapat menerima pembatasan-pemabatasan dari orang
lain. Yang membatasi kekuasaan-kekuasaan dari individu-individu adalah hukum.
Paham individualisme berpangkal pada Men Are Created Free and Equal, yang di
hadapkan pada kenyataan,bahwa dalam hidup sehari-hari manusia harus mentaati
ketentuan-ketentuan tertentu. Yang menentukan ketentuan-ketentuan itu adalah
sekelompok orang, berarti ada sekelompok kecil yang berkuasa dari orang-orang
lain, yang dimana gejala adanya kekuasaan itu menarik pada perhatian manusia.
Jean
Boding, dalam bukunya yang berjudul,”les six livres de la republique”menyatakan bahwa kekuasaan dalam
masyarakat ada di dalam tangang” the
Souvereign”.
Tiga unsur kekuasaan atau
kedaulatan(Souvereign) menurut Jean Boding sebagai berikut:
1. Kekuasaan
yang bersifat Mutlak atau Tertinggi
2. Kekuasaan
yang bersifat terus –menerus.
3.
Kekuasaan yang bersifat dijiwai oleh
hukum alam (natural law).
Didalam masyarakat memang terdapat
kebiasaan yang juga mengikat,tetapi kebiasaan itu bukan hukum, sebab tidak
berasal dari “the souvereign”. Dimana
kebiasaan tumbuh perlahan-lahan berdasarkan kata sepakat (yang tidak di
ucapkan) dari anggota masyarakat sedangkan hukum harus bersumber dari pada the
souvereign, atau hukum itu bersumber pada souvereignty.
Seperti dalam perkembangan
pemikiran manusia selanjutnya, pendukung souvereignty itu beralih dari raja
kepada individu –individu sebagai keseluruhan rakyat.
Kedaulatan yang ada pada
individu-individu itu dilakukan melalui perwakilan –perwakilan rakyat yang
mempunyai wewenang sebagai pembentukan atau badan yang turut serta dalam dalam
pembentukan undang-undang.dari pemikiran ini lahirlah ide, bahwa hukum itu
lahir dari undang –undang.
Dalam pemikiran itu, semua
ketentuan-ketentuan yang tidak berbentuk undang-undang bukanlah hukum. Pendapat
ini terkenal dengan nama Legisme.
Pada abad ke -19 di eropa berlaku
ajaran Legisme dalam bidang pikiran Hukum. Menurut ajaran ini hukum hanya di
temukan di undang-undang, hukum identik dengan undang-undang adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh badan yang tugasnya adalah membentuk
undang-undang.dimana undang-undang yang di bentuk oleh pembentuk undang-undang
itu selalu tertulis. Jadi, menurut ajaran ini yang tidak tertulis adalah bukan
hukum, dengan demikian ketentuan –ketentuan yang berbentuk kebiasaan bukanlah
hukum.
C.
Sejarah Perkembangan Budaya Adat
Bangka Belitung
Bangka
Belitung memiliki wilayah hukum adat pokok tersendiri. Ini sangat menarik untuk
dipahami karena selama ini kita orang Bangka Belitung selalu mengaku adalah
orang melayu. Meskipun pengakuan itu adalah pengakuan yang tidak salah karena
ia tumbuh secara sosial, artinya berkembangnya pengakuan itu berdasarkan
tolokukur kemiripan budaya (kesamaan secara umum) ciri, sipat, atau karakter
dengan orang melayu kebanyakan yang mendiami pesisir Timur Sumatera,
Semenanjung Malaya, Kepulauan Timur Sumatera hingga Kalimantan Barat.
Pertumbuhan
pengakuan secara sosial itu muncul dari persamaan aspek; Agama, Bahasa, dan
Adat-istiadat. Namun dari ketiga aspek tersebut hanya agama yang lebih spesifik
mencirikan kesatuan yang dominan bahwa melayu identik dengan Islam. Sedangkan
tinjauan bahasa dan adat istiadat dari tiap-tiap wilayah memiliki spesifikasi
tersendiri ini dikarenakan dipengaruhi oleh geografis dan sistem politis yang
berbeda-beda.
Pengaruh
itulah, kemudian membentuk kesatuan hukum adat tersendiri, termasuk di wilayah
Bangka Belitung. Atas dasar faktor geografis dan politis, Bangka Belitung
sesungguhnya memiliki wilayah hukum adat pokok. Ini sebenarnya membanggakan
bahwa Bangka Belitung memiliki wilayah hukum adat tersendiri, dan tidak
perlulah pusing berpikir mencari jati diri sebagimana selama ini memusingkan
pikiran mencari akar budaya agar memiliki identitas budaya sebagai orang Bangka
Belitung yang telah berdaulat ketika memiliki provinsi sendiri.
Wilayah
hukum adat pokok menandai bahwa wilayah atau kawasan tersebut memiliki aturan
tersendiri yang spesifik berlaku sebagai hukum yang mengatur adat-istiadat
setempat. Hukum adat pokok ialah hukum yang memiliki keaslian yang tidak
dimiliki oleh wilayah hukum adat pokok lainnya.
Sebagaimana
dijelaskan oleh J.W.M. Bakker SJ dalam “Filsafat Kebudayaan” Kanisius 1984.
Dari 358 suku bangsa dan 200 sub suku yang menghuni Indonesia (Daftar dalam
Sosiografi Indonesia I (19590 76-90), tetapi mereka tidak relevan untuk
kebudayaan selaku kesatuan-kesatuan antropologis. Kesatuan subjek kebudayaan
sejati terletak pada wilayah hukum adat, sebanyak 19 dengan 5 anak wilayah.
Kesembilan belas wilayah itu memiliki struktur budaya yang mantap melalui zaman
sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import.
Dari
kesembilan belas wilayah hukum adat pokok itu, Bangka Belitung ada dalam urutan
ketujuh; mulai dari 1. Aceh, 2. GayoAlas, Batak, 3.Minangkabau, 4.Sumsel,
Jambi, 5.Malayu, 6.Dayak Raya, 7. Bangka Belitung, 8. Sunda, Jawa Barat, 9.Jawa
Tengah, 10.Jawa Timur, 11.Bali,Lombok, 12.Sulawesi Selatan, 13.Toraja,
14.Gorontalo, 15. Plores, Timor, 16 Minahasa, Sanghitalaud. 17.Maluku Utara,
18. Maluku Selatan, 19.Irian Barat. Sedangkan sub wilayah hukum adat adalah;
Nias, Mentawai, Enggano, Madura, serta Makasar. Wilayah hukum adat pokok melayu
masuk di urutan ke lima meliputi; Malaka, Medan, Johor, Siak, Riau, Pontianak,
dan Sambas.
Wilayah
hukum adat pokok itu menghimpun kesatuan yang kuat antar suku-suku yang ada
diwilayah tersebut dari sejak awal hingga kini, kesatuan suku-suku itu
menempati wilayah itu di mana hukum adat itu berlaku. Hukum adat itu eksis
karena adanya pemerintahan oleh raja, ia hadir dan tumbuh sejak zaman Keprabuan
(Masa Hindu atau Budha) atau sejak zaman Kesultanan.
Bangka
Belitung memiliki sistem kekuasaan atau pemerintahan yang menyatukan semua
suku-suku itu. misalnya di Belitung memiliki kerajaan Balok yang berkuasa di
seluruh wilayah kepulauan Belitung, berkuasa sejak abad enam belas hingga abad
ke sembilan belas mulai Dari Cakraninggrat I tahun 1618 hingga Cakraninggrat X
tahun 1890. Sistem adat yang tumbuh dari kekuasaan raja ini yang kemudian
melebur dalam sistem masyarakat adatnya oleh Belanda disebut Zelfbesturende
landschappen.
Bagaimana
sistem masyarakat adat di Bangka yang disebut dengan Volksgemeenschappen,
tentulah Bangka memiliki sistem hukum adat yang tumbuh dari pemimpin
masyarakatnya yang menguasai wilayah masing-masing di Pulau Bangka, di
antaranya para Depati di daerah Jeruk, Tumenggung di Wilayah Mentok, Raden di
wilayah Toboali, Demang di Kota Waringin, serta para Batin dan lain-lainnya.
D.
Perkembangan
Budaya Melayu Bangka Belitung
Melayu
yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang
solid. Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas
budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa melayu
menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu
sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan
Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365,
Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Palembang ke Malaka,
Tetapi bahasa melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki
Sriwijaya. Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah
ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran
bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam.
Penyebaran
budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung
Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang
barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.
Penyebaran
imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam
seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan
Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah
dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya
Tanjungpinang.
Sampai
kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh
Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem
kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade
berikutnya. Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi
Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak
perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan
Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang
hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun
1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung
sebelumnya.
Bangka
Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum
didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan
kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun
1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat
istiadat yang mengacu pada keIslaman.
Masuknya
Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari
Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.
Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung.
Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa
syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran”
yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha.
Sedangkan
pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di
rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap
mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan
acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada
acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut
puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan
acara “Perang Ketupat”.
Acara
tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang
tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh
tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh
kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo
dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya
di bawah Majapahit, Kyai Masud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja
Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah
Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta
sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika
Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan
kebijakan terebut.
Pengaruh
Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka
pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga
berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan
ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan
masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung,
acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa Islami dan
pembacaan syair marhaban.
Tetapi
tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya,
misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga
raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi
kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan
berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah
kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di
wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini
memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah
tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka
Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya
Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan
adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja,
pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya
telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi
wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.
Bagaimana
dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung?
Kedua aspek ini masuk dan membudaya di
masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari
beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya
mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk
lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih
awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan
diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah
mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya
penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan
bahasa dengan fonetis yang beragam.
Misalnya
Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena
kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah
Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud
Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan
angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum
Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan
Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.
Belitung
lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula
dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan,
bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis
bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa
disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah
Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang
menonjol.
Berbedaan
fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul
kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut
dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan
budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada
setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat
pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini
memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan
menetap.
Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya
sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak
memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang
berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten
karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter
mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.
E.
Adat Dan Tradisi
Budaya Bangka Belitung
Kebudayaan
yang tumbuh di Bangka Belitung erat kaitannya dengan dominasi tersebut di atas;
di satu sisi Islam diterima dalam masyarakatnya sebagai aturan hukum wajib
agama namun tradisi kepercayaan yang melebur pada sistem kepercayaan
masyarakatnya masih cukup kental yang berlaku pada penduduk-penduduk
perkampungan, suku-suku, serta etnik yang masuk setelah masa kolonial Belanda
yaitu Etnik China.
Hukum
adat yang mesti dieksekusi oleh raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahannya
sudah tiada. Hukum yang adat yang berlaku sesudahnya adalah hukum yang masih di
jalankan oleh pemangku yang ada di bawahnya. Hukum adat yang ada di bawah raja
yaitu yang ada pada masyarakat adatnya; misalnya sesepuh turunan raja, kepala
kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya ada di bawah
para penghulu dan dukun kampung serta sedangkan wewenang tentang perihal
tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin,
dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di
berbagai spesifikasi lainnya.
Raja,
kepala suku yang menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk
karakter masyarakatnya yang di kemudian disebut adat masyarakat. Karakter itu
akan tercermin dalam sikap masyarakat wilayah tersebut. Misalnya salah satu
contoh ketika Cakraninggrat III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung,
memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang asing akan menikahi gadis
wilayah itu, harus membayar sejumlah uang kepada ngabehi, serta tak boleh
membawa pulang perempuan yang dinikahi tersebut, si lelaki mesti tinggal di
wilayah
kekuasaan
hukum raja. Dampak tersebut setelah raja dan ngabehi tidak lagi memberlakukan
hukum tersebut maka kini terserap dalam tradisi “berebut lawang” di mana
penganten laki-laki mesti membayar pada penjaga pintu atau lawang di rumah
mempelai perempuan.
Berbagai
upaya masyarakat untuk membuat hukum tetukun tersebut menjadi mantap di
masanya; secara sikap sosial tentu saja masyarakat setempat mesti terbuka dan
memiliki toleransi yang tinggi, hingga setiap orang asing yang menikahi gadis
Belitung di masa itu akan betah karena sikap masyarakat yang positif itu.
Bagaimana
jika ada usaha untuk hanya sekedar menikahi misalnya, tentu saja peran mistik
dari dukun menjadi berperan hingga muncul asumsi jika sudah terminum air setempat
maka orang tersebut akan betah! Dan kesan yang muncul kemudian adalah asumsi;
Jika orang asing sudah menikahi gadis Belitung maka ia takkan bisa pulang lagi
ke negeri asalnya. Belum lagi hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya
yang membentuk karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati hak-hak antar
warganya.
Misalnya
jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya adalah di
gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka dihukum
menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya wajib
mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar akan
menjadi budak raja. Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan
perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama
berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali
hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang
memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.
Hukum-hukum
yang mengatur tentang pemanfaatan tanah dan hutan adatnya juga diatur
sedemikian rupa sehingga masyarakat adat tersebut menjadi bijak menggunakan
kekayaan alamnya. Hanya orang-orang yang tak tahu adatlah kemudian banyak
melanggar sistem yang telah terbentuk dalam masyarakat adat tersebut.
Kelemahan
hukum adat Bangka Belitung pada dasarnya tidak pernah diundangkan secara
tertulis baik oleh raja, depati, batin, atau pun kepala suku karena
masyarakatnya begitu patuh dengan pemimpin mereka. Norma yang tak tertulis itu
menjadi titik lemah dalam perkembangan tradisisinya karena kebudayaan selalu
bergeser dinamis sehingga pendatang atau yang bukan penduduk asli menjadi ogah
untuk menaati hukum adat setempat.
Keunggulan
dari norma atau hukum adat yang tak tertulis itu adalah loyalitas dan
kebersamaan tetap terjaga pada lingkungan masyarakat adatnya. Ia dengan
sendirinya membentuk karakter masyarakatnya menjadi masyarakat yang homogen.
Otonomi raja yang pernah mempersatukan masyarakatnya dalam satu simbol
kekuasaan akan mencerminkan watak atau karakter tersebut, misalnya pada
masyarakat pulau Belitung, mereka homogen dalam bahasa, agama, dan adat
istiadat. Suku-suku lain dari komunitas yang lebih kecil pun kebanyakan sudah
melebur dalam sistem tersebut.
Misalnya
Suku Sekak sudah banyak yang masuk Islam, serta menguasai bahasa setempat,
meski tradisi kepercayaan mereka tak mungkin mereka hilangkan. Adat atau norma
yang dieksekusi oleh Kepala Kampung dan para kepala suku, itu menyangkut
tentang semua aturan setempat yang kini lebih dikenal dengan sebutan kearifan
lokal adalah aturan yang sudah berlaku secara turun-temurun. Aturan tersebut
kemudian dipertegas secara kepercayaan oleh para dukun dan secara agama oleh
penghulu atau lebai kampung. Kearifan lokal yang berkaitan dengan alam sebagai
sumber kehidupan yang kemudian mentradisi secara ritual berkaitan dengan
kepercayaan diakumulasikan dalam acara ritual misalnya seperti; Buang Jong pada
suku Sekak, Nuju Jeramik pada suku Urang Lom, Maras Taon di tradisi Urang
Belitong. Kearifan lokal sehari-hari yang dipatuhi masyarakat, implementasinya
begitu sederhana dan mudah untuk diterapkan misalnya berkaitan dengan hutan;
jangan menebang kayu dimasa pohon sedang berpucuk; jangan menebang pohon di
hutan hulu sungai atau hutan mata air; jangan membuka dan membakar hutan tanpa
ada petunjuk dari dukun kampong dan dukun api, dan lainnya. Di bidang perburuan
hewan misalnya; jangan berburu di musim bulan terang, jangan membunuh hewan
yang lagi bunting, dan lainnya.
F.
Hubungan
Antar Manusia dengan Manusia
Bagaimana
hubungan antar manusianya? Adat tradisi yang berkaitan ritualitas pernikahan,
di Bangka Belitung memiliki eksotika tersendiri misalnya tradisi prosesi
melamar, prosesi seremonial pernikahan, prosesi pesta pernikahan, Belitung
terkenal dengan istilah Begawai yang prosesinya melibatkan perangkat penghulu
hingga personil perangkat kerjanya yang dilaksanakan secara sistematis dan unik
hingga kini. Di Bangka di kenal juga adanya tradisi Kawin Massal dengan prosesi
kebersamaan adat sepintu sedulangnya
Berbicara mengenai perkawinan,
setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing masing dalam pelaksanaannya.
Begitu juga dengan adat perkawinan di Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung yang terdiri dari dua pulau ini, yaitu pulau Bangka dan Pulau
Belitung, memiliki adat perkawinan berbeda. Jika di Bangka, kebanyakan tradisi
dan proses perkawinan dilakukan secara Islami, maka di Belitung ada perbedaan
yang cukup signifikan.
1. Adat
Perkawinan Di Pulau Bangka
Tradisi perkawinan disini sangat
dipersiapkan betul segala sesuatunya, mulai dari persiapan apa saja yang harus
dilakukan, bagaimana pelaksanaan upacaranya, dan bagaimana pula dengan
perencanaan dan persiapan setelah pernikahan menuju realitas berumah tangga.
Semua itu harus dipersiapkan sesempuna mungkin.
Untuk proses perkawinannya, karena
masyarakat Bangka sangat kental dengan budaya Melayu, maka segala hal dilakukan
berdasarkan kebudayaan tersebut, tanpa melupakan tata cara dan pelaksanaan
secara Islami, karena masyarakat disana cukup kental dengan keislamanannya.
Untuk hiburan dan kesenian yang diadakan pada pesta perkawinan di Bangka,
antara lain Dambus, Tari Zapin dan Tari Campak.
2.
Adat Perkawinan Di Pulau Belitung
Ada yang berbeda di Belitung, yaitu
pada proses lamaran. Kalau umumnya lamaran dilakukan oleh seorang pria kepada
wanita yang menjadi pilihannya, maka disini tidak ada aturan khusus siapa yang
harus melamar dan siapa yang harus dilamar, karena buktinya pihak wanita pun
bisa melamar pria yang ingin dinikahinya. Sifatnya fleksibel dan bisa diatur
sesuai kesepakatan antara pria dan wanita yang ingin menikah tersebut. Proses
pernikahan di Belitung cukup lama, yakni bisa memakan waktu sampai 7 hari 7
malam.
Yang menarik pada tradisi pernikahan
di Belitung, yaitu proses dimana mempelai pria mendatangi rumah mempelai wanita
di hari pertama. Disini mempelai pria datang tanpa didampingi orang tua dan
keluarga, tapi hanya ditemani oleh saudara dari ayah atau ibu. Saat datang,
mereka harus melewati 3 pintu, yang masing masingnya dijaga oleh orang yang
berbeda. Di pintu 1 ada tuan rumah dan Tukang Tanak (orang yang memasak nasi),
di pintu 2 ada Pengulu Gawai (pemimpin hajatan), di pintu 3 ada Mak Inang
(tukang rias). Ketiga pintu tersebut dilewati sambil berbalas pantun antara
pengantin pria dan wakilnya dengan penjaga tiap pintunya. Proses dan tradisi
ini disebut dengan Berebut Lawang.
Jika sudah melewati 3 pintu
tersebut, maka akad nikah pun dilaksanakan. Dan pada keesokan harinya pengantin
pria datang lagi beserta orang tua dan keluarga lainnya untuk mengikat
silaturahmi antara kedua keluarga.
G.
KESENIAN
DAN ADAT ISTIADAT BELITUNG
1. MARAS TAUN
maras taun berasal dari kata
"maras" yang berarti "meniris ( membersihkan duri halus) dan
"taun" berasal dari kata "tahun". maras taun diadakan
setiap setahun sekali oleh masyarakat belitung sebagai wujud rasa syukur
setelah melewati musim panen padi dan juga bertujuan selamatan kampung untuk
membersihkan kampung dari marabahaya dan untuk keselamatan & kesehatan
masyarakatnya. Dalam acara maras taun ini banyak kesenian-kesenian yang di
tampilkan seperti tari sepen, nutok lesong panjang, ngemping dan lain-lainnya.
2. CAMPAK
Campak di Belitung ini ada 2
macam yaitu Campak Darat dan Campak Laut.
Tarian ini adalah tari khas masyarakat belitung dari suku sawang yang merupakan
tari hiburan bagi masyarakat belitung. tari ini dibawakan oleh dua atau empat
orang penari wanita dan diiringi oleh penari pria secara bergantian. Dalam
tarian ini diselingi dengan berbalas pantun antara penari pria dan wanita
sehingga tarian ini akan sangat meriah dan ceria. Alat musik yang
mengiringi tarian ini seperti Gong, Gendang, Biola, Tawak-tawak.BERIPAT
BEREGONG Beripat berasal dari kata "Ripat" artinya "memukul atau
mencambuk dengan menggunakan alat, sedangkan Beregong berasal dari kata
"Gong" yaitu alat musik yang mengiringi permainan ini. Permainan ini
dilakukan oleh kaum pria yang mempertunjukan kebolehan /keterampilan dalam
memainkan senjata (rutan segak yang lentur ukuran 1,30cm). alat musik yang
mengiringi yaitu Gong, Gamelan, dan Serunai.
3. LESONG PANJANG
Lesong panjang biasanya dimainkan
pada saat musim panen padi tiba. alat utamanya adalah sebuah lesung yang
terbuat dari kayu pilihan yang bersuara keras dan jernih. lesung panjang bervariasi
antara 1 - 1,5 meter dengan diameter 25 cm sampai 30 cm, lesong dibuat dnegan
berbagai model dan ukuran sesuai dengan selera pemain. alat untuk memukul
lesong dinamakan ALU dengan panjang bervariasi dari 75 cm hingga 120 cm dengan
diameter hingga 6 cm.
4. DUL MULOK
Kesenian ini merupakan kesenian
tradisional yang berasal dari desa kembiri yaitu pentas sejenis opera yang mana
sumber ceritanya berasal dari Syaer (syair) lama. Alat-alat yang digunakan
dalam kesenian ini meliputi satu buah gendang panjang dan satu buah piul atau
biasa yang dikenal dengan biola.
5. TARI SEMBAH
Tari sembah atau tari sambut
merupakan tari selamat datang atau sekapur sirih yang menggambarkan rasa
kegembiraan dengan musik dan nyanyian yang mengekspresikan kehangatan dalam
penyambutan. tarian ini biasanya digelar pada saat menyambut tamu atau bisa
juga pada saat resepsi dan upacara selamatan. tarian ini diperagakan atraksi
petaburan beras kunyit yang melambangkan doa permohonan keselamatan dan
kegembiraan tamu.
6. TARI TULAK BALAK
Tarian ini diangkat dari upacara
yang sering dilakukan masyarakat untuk menolak mara bahaya guna menjga
keselamatan kampung dari berbagai penyakit. tarian ini dilakukan dari ujung ke
ujung kampung, guna mengusir bencana alam dari kampung, digunakan kesalan berupa
irisan daun neruse, ati-ati dan bungan rampai yang telah diberi mantera oleh
dukun kampung.
7. MANDI BELIMAU
Mandi belimau adalah salah satu
adat istiadat di pulau bangka belitung yang diadakan menjelang bulan ramadhan.
tujuan mandi belimau ini adlah untuk membersihkan diri dan pensucian diri baik
lahir maupun batin menjelang bulan ramadhan.
8. BUANG JONG
Buang jong adalah upacara ritual
suci dari suku sawang suku asli dari pulau belitung. upacara diselenggarakan di
tepi pantai dengan acra menyahutkan sebuah kapal kecil yang dihiasi dengan daun
kelapa dan beberapa macam bahan persembahan didalamnya. Tradisi ini
dilaksanakan antara bulan Agustus sampai bulan November oleh suku sawang untuk
memperoleh keselamatan disaat mereka berlayar dilaut.
H.
Budaya dan
Tradisi Masyarakat Belitung
Wilayah
hukum adat pokok Bangka Belitung telah membentuk kesatuan adat tersendiri, ia
tak lekang oleh zaman karena sudah melebur ke dalam karakter masyarakatnya.
Namun perubahan arus budaya barat dari Belanda dan budaya timur dari China yang
mulai masuk sejak eksploitasi timah di kedua wilayah Bangka belitung cukup
berpengaruh di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi maka akulturasi dan
inkulturasi pun tak terelakan. Karakter masyarakat pekerja timah pada
perusahaan timah cenderung menjadi peodal pada masa-masa permulaan.
Gejala
ini muncul ketika Belanda memberlakukan pengkotakan, sistem levelitas pada
pekerja di maskapainya. Ini muncul di Belitung; misalnya level jabatan karyawan
tertentu akan mendapat keistimewaan dan pasilitas kesejahteraan tertentu pula.
Tak aneh jika dikemudian muncul sikap yang merendahkan level yang terbawah,
namun tak aneh pula jika level terbawah ini jika status sosial mereka
terdongkrak akan bersikap angkuh dan sombong! Pulau Bangka yang masyarakatnya
lebih plural, hampir tak mengenal sistem peodal karena Kolonial Belanda merasa
kesulitan menguasai karakter pada masyarakat yang tidak homogen.
Kecuali
perlakuan khusus pada penguasa orang-orang China, misalnya pemberian kekuasaan
pada orang China yang kooperatif seperti diberikan pada Kapiten China. Ini
memungkinkan untuk balance of power karena sebelumnya orang-orang China pekerja
parit timah telah mengadakan pemberontakan yang dipimpin oleh Liu Ngie tahun
1842-1900. Di Belitung hampir tak ada pemberontakan dari komunitas etnik China
ini, kapiten China yang mengepalai komunitas China di Tanjung Pandan pada masa
itu adalah Ho A Jun. Pengaruh pemberontakan ditingkat bawah itu, membuat
orang-orang China pada strata kuli ini memiliki rasa kebersamaan nasib hingga
hubungan sosial dengan masyarakat asli menjadi akrab maka tak aneh jika
keturunan etnik China di Bangka, ada yang tak bisa lagi menggunakan bahasa
ibunya.
Perkawian
campuran, dan eknik China yang masuk Islam sudah bukan hal baru. Akulturasi di
salah satu identitas budaya Bangka; kelengkapan pakaian adat pengantin adat
Bangka yang disebut dengan Paksian ada dipengaruhi oleh budaya China terutama
pada warna serta simbol-simbol mahkota pengantin perempuan yang disebut dengan
Paksian. Sedangkan pada identitas budaya lainnya seperti kesenian; sastra
pantun yang erat kaitannya dengan bahasa melayu, ia masih tetap eksis.
Pada
tarian terjadi akulturasi dari China, Arab dan Melayu. Musik tradisional gambus
pengaruh Persianya sangat kental. Kesenian asli yang tak terpengaruh adalah
kesenian campak Suku Sekak atau Suku Laut, tapi kesenian asli ini kurang nampak
mendapat perhatian hingga kemungkinan akan lenyap begitu saja.
Budaya
Masa Kini Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter masyarakat
adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung
karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian abad lalu dan itu telah
menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.
Akar
budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak ada pengaruh
kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi pasal 32 UUD 45 yang
diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang hak-hak masyarakat adat
Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Orang Bangka mengenal istilah “Budaya
Dak Kawa Nyusah” ini yang menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang,
sebenarnya ada apa dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya
begitu malas dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam
hubungan sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut
mengarah pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar
tetap eksis. Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka
kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti terpenuhi
hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.
Karakter
“Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak mendukung sebuah kemajuan.
Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan apa manfaatnya bagi masyarakat
adat yang hidup dengan makna itu.
Bangka
Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya; kekayaan
hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang bermula hidup
dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah penghidupan mereka
hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan kehidupan antara alam dan
penggunanya.
Misalnya
penggunaan tanah hutan wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan
hutan wilayah cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan
buruan akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber
air serta penghidupan habitatnya. Oleh aturan itulah membuat pola hidup
masyarakat menjadi tentram hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan
atau mata pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa
sehingga tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi,
menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan saling
membantu dan bergotong royong.
Masyarakat
dalam pola ini takkan mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah
untuk didapat. Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat
yang berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu, tidak
ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial, apalagi
rasis! Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan
menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya luar
beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi pun berangsur
berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai dihadapkan pada pola
hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat hidup, Belanda dengan kebijakannya
meminggirkan aturan adat terhadap hutan dan tanah karena kepentingan terhadap
timahnya.
Pola
hidup dari pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja
tambang timah. Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam dekade
yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan “kemakmuran” hingga
menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola konsumtif karena terus
tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas maskapai perusahaan timah
tersebut. Hingga kemudian pada dekade berikutnya ketika krisis ekonomi melanda
Indonesia, menyebabkan para karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung
dengan pola itu menjadi bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka
Belitung dibuka bebas. Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam
tersebut, bermula pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola
tersebut tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang
melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi memberikan penghidupan
pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus berpegang dalam pola “ndak kawa
nyusah” dan terus hidup tergantung pada sumber daya alam.
Adakah
alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh dan berkembang di negara-negara
yang masyarakatnya tidak bersandar pada potensi yang mengeksploitasi sumber
alamnya? Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu?
Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena tolok ukur
dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak melihat budaya
adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya sesungguhnya tidaklah berdiri
sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling terkait dengan semua aspek kehidupan
yang melingkupinya maka sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita
yang kita beri arti dan makna.
Maka
sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan bertahan ketika kita
telah memberinya dengan arti dan makna yang saling berbeda? Identitas sosial
budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi berbeda bentuknya meski memiliki
tujuan yang sama yaitu membangun peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu
rumah adat dibuat dan difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula
kantor-kantor pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat
bagaimana hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini
bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.
Jika
dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini bagaimana pula budaya
kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu keramahan adalah kesantunan
terpuji, tapi kini bagaimana pula jika kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu
budaya kerja keras yang halal adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula
budaya korupsi adalah sebuah gengsi dan prestise. Budaya kini, dalam arus
global yang tak mungkin terbendung. Mampukah kita mempertahankan budaya kita
dalam arti yang sesungguhnya; yaitu memberinya makna agar tujuan hidup memiliki
sebuah nilai kehormatan baik secara horizontal dan vertikal? Ian Sancin Budayawan Bangka Belitung Penulis
Novel Yin Galema.sejarah tentang.
I. Permasalahan Tanah Adat Di Bangka
Belitung
Di wilayah Bangka Belitung, tanah
adat masih menjadi pengetahuan yang abstrak hingga saat ini. Tanah adat sering
juga disebut dengan tanah ulayah atau tanah kawasan.
Tanah tersebut pada awalnya adalah
tanah yang dimanfaatkan penduduk pemukim di mana mereka hidup menetap dan
mencari penghidupan di dalamnya, tanah kawasan itu menjadi milik bersama karena
mereka bergantung hidup di dalamnya secara tradisional turun temurun; baik
berburu, berladang atau pun mencari hasil-hasil hutan di dalamnya.
Jadi tanah ulayah pada dasarnya
adalah sumber dari segala sumber kehidupan mereka. Dari filosopi inilah
kemudian kita mengenal sebutan dengan Tanah Tumpah Darahkuyang dijadikan
sebagai wujud kecintaan yang sakral pada tanah tempat mereka dilahirkan dan
tumbuh berkembang di sana.
Tanah ulayah itu berlanjut terus
berabad-abad karena tradisi tersebut, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan
meluasnya pemukiman; dari hutan menjadi huma, kelekak, parong, kubok, kampung,
desa, dan seterusnya maka perubahan itu memerlukan pengaturan karenanya
munculah kemudian istilah tanah adat atau wilayah yang diatur untuk kepentingan
masyarakat yang memanfaatkannya. eksisnya tanah adat yang di atur oleh ketua
adat di pemukiman tersebut; kepala suku, dukun, batin, depati, raja, dan
lain-lain dengan sistem yang di sesuaikan dengan wilayah yang kemudian di sebut
dengan aturan adat.
Aturan itu kemudian disebut hukum
adat, hukum itu ada yang tertulis dan tidak tertulis, sejauh ketaatan penduduk
di situ tetap berjalan maka hukum adat selalu tidak tertulis karena pada
dasarnya masyarakat yang beradat dan sadar dengan adat istiadat maka mereka
pasti menghormati hukum itu. Masyarakat tradisional Bangka Belitung termasuk
kategori masyarakat adat yang sadar dan taat pada hukum adat yang tak tertulis.
Karenanya itulah, tanah adat adalah
tanah penduduk pemukim yang mengitari wilayahnya secara turun-temurun sesuai
dengan proses seperti uraian di atas. Munculnya istilah tanah negara, itu baru
ada setelah terbentuknya Negara Repuklik Indonesia. Tetapi negara dalam
kebijakannya tetap berpihak pada rakyat maka negara tetap berpendirian dan
menghargai hak tanah rakyat atau tanah adat itu. Karena itu, pada pasal 33 UUD
1945 ayat 3. Tentang Penguasaan tanah oleh negara tetap dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Munculnya berbagai kepentingan atau
usaha pemanfaatan tanah maka sistem pengaturan tata guna tanah kemudian diatur
dengan undang-undang pokok agraria. Persoalan yang muncul sekarang adalah
ketika kita tidak berpedoman pada pasal 33 sebagai pasal yang lebih kuat dari
segala pasal yang ada terhadap undang-undang yang mengatur ditingkat bawahnya
maka akan terjadi salah penafsiran atau mungkin disalahtafsirkan.
Banyak kemudian, demi kepentingan
institusi atau orang-perorang; kapitalis, broker, atau pribadi lainnya yang mau
menguasai apa yang di sebut tanah negara yang di dalamnya terdapat tanah ulayah
tersebut, mereka menguasainya tanpa mengindahkan kepentingan yang lebih luas
seperti yang di amanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut. Karenanya
timbulah konplik kepentingan di dalamnya. fenomena konplik ini sudah menjadi
persoalan klasik di negara ini.
Termasuk beberapa persoalan tanah
di wilayah Bangka Belitung. Karena itulah, sepatutnya kita berkiblat pada
kepentingan untuk kemakmuran rakyat. Karena tolokukur kemakmuran menjadi
berbeda dari tiap dimensi maka seringkali ketika pemanfaatan tanah, baik oleh
institusi, kapitalis, atau perorangan yang justru mengeliminasi atau
memiskinkan rakyat pemukim di wilayah tanah ulayahnya, seperti penomena
urbanisasi pada masyarakat agraris; padahal ketika petani kehilangan tanahnya
maka pemerintah mendapatkan persoalan sosial baru yang tak kalah tragis dan
jika dibandingkan dengan rakyat yang tak makmur tapi hidup tentram di tanah wilayah
pemukimannya.
Rakyat atau masyarakat di sekitar tanah
ulayahnya dengan ukuran kemakmuran masing-masing seharusnya tidak terusik oleh
kepentingan yang hanya menguntungkan diri sendiri, atau kelompk yang lebih
kecil karena itulah pemerintah hendaknya lebih teliti dan jeli jika ada
perorangan yang banyak menguasai tanah dengan legislasi hukum tapi tak jelas
pemanfaatannya secara produktif.
Karena itu juga rakyat jangan
terjebak ingin cepat melepaskan tanahnya pada pihak lain tapi justru kemudian
memiskinkan anak cucu mereka di kemudian hari karena tak ada lagi memilki
tempat bermukim dan berusaha. Tanah Adat Bagaimana dengan tanah adat di Bangka
Belitung. Perbandingan Sistem hukum adat yang kita suguhkan di sini adalah yang
berlaku di Belitung karena struktur adat di sana masih relevan dan terjaga
meski saat ini sudah banyak juga yang terdegredasi.
Tanah adat muncul sejak lama dan di
kuasai oleh masyarakat secara tradisional, di atur sistemnya oleh Depati
Cakraninggrat sebagai penguasa adat yang kemudian ditransformasikan sampai ke
level bawahnya yaitu Dukon Kampong. Tanah adat itu terbagi menjadi tiga sesuai
dengan pemanfaatannya, yang Pertama tanah hutan lindung, kedua tanah hutan
cadangan selanjutnnya adalah tanah hutan ume atau ladang tanah ume, Tanah
ladang inilah yang sekian tahun berikutnya menjadi tanah adat wilayah atau ulayah
sering di sebut dengan “Kelekak” seperti Hutan Kelekak Datuk, Kelekak Teledok,
Kelekak Usang, Kelekak Kik Barat, Kelekak Kapok, Kelekak Ludai, dan puluhan
Hutan Kelekak lainnya. Kelekak pun terbagi menjadi dua; kelekak yang terbiarkan
menjadi hutan asli kembali setelah diladangi, atau kelekak tanam tumbuh setelah
ditanami dengan berbagai pohon yang bisa dimanfaatkan hasilnya.
Dalam prosesi ladang menjadi
kelekak, sistem tradisi yang dianut oleh rakyat pemukim kedua wilayah Bangka Belitung
tak jauh berbeda. Karenanya sistem atau hukum adat istiadat ini tetap menjadi
pengetahuan masyarakat tradisional hingga saat ini. karenanya tak heran jika
kemudian hari dalam berbagai konflik tanah, mereka mengklaim tanah tersebut
adalah tanah moyang mereka karena moyang mereka telah pernah menggarap tanah
itu sebelumnya.
Karena itulah dalam masyarakat adat
tradisional Belitung, sistem penguasaan tanah menyerahkan batas-batas wilayah
tanah adatnya pada dukun Kampong yang tahu batas-batas wilayah hutan mereka.
Pengaturan kekuasaan para dukon kampong tentang wilayah atau tanah adat
tersebut tidaklah memerlukan bukti fisik kertas oleh legislasi negara, barulah
kemudian pada masa Pendudukan Belanda muncul istilah Batas Mynterein dengan
hutan Gemeente, hutan Gouvernement, dan hutan Boschcompleek.
Tanah adat hutan lindung biasanya
adalah tanah hutan-hutan yang melindungi sumber-sumber air sungai. Maka
diantaranya, hutan hutan tersebut adalah hutan yang terdapat di hulu-hulu
sungai, seperti hulu Sungai Lenggang, Renggiang, Buding, Kubu, Cerucok dan hulu
sungai lainnya. Tanah adat hutan cadangan adalah tanah hutan-hutan yang banyak
menghasilkan hasil hutan seperti; damar, garu, madu, kayu peramu rumah dan
lain-lain, hasil hutan ini memang bagian dari komoditi perniagaan pihak
kerajaan maka raja atau depati mesti melindunginya hutan ini. Tanah hutan
peladangan adalah tanah rakyat yang kemudian kita kenal menjadi hutan kelekak
dan kelekak tumbuhan setelah digarap oleh penduduk.
Sistem pengarapan ulang atas tanah yang
sudah menjadi kelekak hutan sering terjadi di Bangka Belitung, ini disebabkan
karena penggarap masih merasa berhak menggarap tanah itu, karenanya dalam
masyarakat tradisional yang mau menggarap tanah mereka yang sudah tak ketahuan
rimbanyanya lagi, akan meminta bantuan kepada dukun, dan di Belitung mengenal
adanya dukun hutan, dan dukun lainnya seperti dukun api; jadi jika mau membakar
hutan buat berladang serahkan pada akhlinya ini, hutan takkan terbakar ke
mana-mana.
Karena itu, kearifan lokal tentang
hutan, daerah ini takkan mengenal adanya perambah hutan yang membakar hutan
sekenanya juga takkan ada pembabatan hutan semena-mena oleh masyarakat adatnya
karena sistem adat sudah mengatur sedemikian rupa secara sistemik dan
futuralistik Perlindungan hutan secara adat itu juga dikarenakan adanya
kearifan untuk menjaga ekosistem di dalamnya; tentang berburu misalnya, itu
sudah di atur sedemikian rupa, diantaranya tidak diperkenankan berburu pada
bulan purnama; secara mistik itu adalah hak berburu Antu Berasuk, tapi
ilmiahnya karena saat purnama adalah musim kawin para binatang hutan, juga tak
diperbolehkan membunuh hewan buruan jika hewan tersebut lagi hamil dan berbagai
kearifan lainnya.
Karena itulah, Bangka Belitung
termasuk dalam urutan ke 7 dari 19 dari wilayah hukum adat di seluruh wilayah
hukum adat yang ada di Indonesia. Kesembilan belas wilayah hukum adat itu
memiliki struktur budaya mantap melalui zaman sampai ambang waktu sekarang,
tidak lenyap oleh peradaban import ( J.W.M Bakker Sj. Tentang struktur
kebudayaan “Filsapat Kebudayaan” Kanisius 1984) Tanah Hutan Bangka Belitung Apa
yang terjadi saat ini ketika setiap orang telah berhak mengatasanamakan
berbagai kepentingan untuk menguasai tanah wilayah. Sejarah mencatat,
kepentingan menguasai tanah secara brutal sudah berawal ketika penambangan
timah mengekploitasi hutan-hutan produksi, sejak zaman pendudukan Belanda,
hingga zaman kini, tanah-tanah hutan tergerus tanpa ada hutan pengganti yang
seimbang secara biologis yaitu kembalinya ekosistem yang mendekati sediakala.
Pada masa penambangan timah oleh
Belanda upaya penyelamatan tanah-tanah adat oleh pemangku adat yaitu upaya dari para dukun di Belitung nampak juga
kurang begitu efektif meski banyak daerah yang ter kenal dengan istilah kemistis
masyarakat-nya (religiomagis) dalam kehidupan tradisional masyarakat adat
belitung .dengan sebutan dengan Pengkopongan bijih timah, artinya wilayah itu
sengaja dikosongakan bijih timahnya secara mistis oleh para dukun agar wilayah
itu terselamatkan. Upaya para dukun tak efektif karena pada masa itu, Depati
Belitong sudah dapat diajak kerjasama oleh Belanda dengan diberikannya
penguasaan saham dari beberapa parit timah, diantaranya Parit Timah Bengkuang
di distrik Manggar dan beberapa parit lainnya.
Meskipun begitu pada tahun 1927,
setelah 75 tahun badan usaha penambangan timah Belanda, Billiton Maatschappy
memberikan konvensasi kepada rakyat Belitung dengan menerbitkan Dana Abadi
untuk Kesejahteraan Rakyat Belitung di bidang pendidikan dan kesehatan yang di
sebut dengan Dana Bevolkingfonds dana itu berjumlah Rp750.000,- Dana itu hingga
kini tak ketahuan rimbanya. Bagaimana di bangka? Seperti halnya Belitung,
Bangka pun mengalami nasib yang sama tantang sejarah tanah oleh penambangan
timah tersebut.
Saat ini persoalan yang sering
muncul adalah konflik sosial yaitu berbenturannya masyarakat pemukiman tanah
ulayah atau tanah wilayah dengan para pengusaha yang menguasai hutan wilayah
mereka, seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit; rakyat sudah merasa memilki
tanah ulayah atau wilayah itu sejak turun temurun sebagai sumber hidup mereka,
sementara pihak perusahaan yang mengatasnamakan kepentingan yang lebih luas
juga merasa berhak atas tanah tersebut Kearifan yang bagaimakah mesti
diterapkan untuk menyelamatkan tanah hutan wilayah atau tanah ulayah, sementara
kepentingan banyak pihak yang tak berpihak kepada masyarakat setempat terus
mengintai?
DAFTAR PUSTAKA.
Sumber gambar :
marwan21.blogspot.com