Rabu, 20 Januari 2016

hukum adat belitung





BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Setiap bangsa atau peradaban dunia memiliki karakter keberagaman masing –masing yang unik. Karakter dan keberagaman tersebut terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakat se-iring dengan kemajuan peradabaan dunia yang mengalami perubahan secara global. Dan bahkan setiap bangsa memiliki ciri khas karakter dan kualitas kebudayaan tradisi tersendiri yang secara instrinsiknya ada, tidak ada ataupun yang bersifat superior satu sama lainnya.
Seperti dalam hal pembentukan sistem hukum yang memiliki keterkaitan erat dengan budaya masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny, sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan yang bebas (arbitrary act of a legislator ), tetapi dibangun dan dapat di temukan di dalam jiwa masyarakat.
Secara hipotesis hukum dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya di buat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity ).
Seperti akar dari ketatanegaraan suatu negara dapat dilihat dan demikian bisa dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama.
Seperti yang terjadi dalam perjalanan sejarah hukum nasional indonesia, istilah yang di kenal hukum adat (adatrecht) pertama kali di perkenalkan oleh seorang ahli hukum kebangsaan belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Namun, sejak Van Vallenhoven memperkenalkan serta memopulerkan adatrecht dalam bukunya ,“Het Adatrecht Van Nederland-Indie”.
Hukum adat merupakan bagian dari hukum kebiasaan yang memuat suatu sebab akibat terjadi nya suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dimana perbuatan tersebut apabila  melanggar ketentuan –ketentuan  kaidah-kaidah akan mempunyai akibat hukum.
Sebaliknya kaidah-kaidah tersebut mempunyai akibat yang sama seperti akibat-akibat hukum di Negeri Belanda, meskipun  wujudnya berbeda-beda di kalangan orang indonesia sendiri,kaidah –kaidah yang mengatur hidup bersama disebut”Adat”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat?
2.      Bagaimana perkembangan sejarah hukum adat Indonesia ?
3.      Apa saja  Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat  Hukum adat Belitung ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan keadaan hukum adat daerah Belitung ?
2.      Mendeskripsikan peristiwa historis perjalanan sejarah budaya tradisi lokal masyarakat daerah Budaya Belitung.
3.      Dan merupakan sebagai salah satu tujuan untuk pencapaian nilai mata kuliah Hukum Adat, serta penyambung dan penyampai materi dari Mata Kuliah tentang Hukum Adat Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat ?
Hukum adat atau yang biasa dikenal dengan adatrecht merupakan suatu sistem pengendalian sosial  (social control). Dimana sistem itu adalah sesuatu yang tumbuh dari hidup dalam masyarakat indonesia. Menurut pendapat Prof.Dr.C.Snouck Hungronje dalam bukunya berjudul “ De Atjeher”1894, menamakan sistem pengendalian sosial yang hidup dalam masyarakat indonesia.
Adapun istilah lain dari kata Hukum adat yang dalam perundang-undangan Hindia Belanda yaitu istilah –istilah yang di gunakan untuk menunjukkan/menamakan sistem pengendalian sosial itu antara lain:
Godsdienstige Wetten (Undang-Undang Agama), yang terdapat dalam Pasal 75 ayat 3 R.R disamping instellingenen gebruiken.(Lembaga-lembaga dan kebiasaan)
Pasal 78 ayat 2 R.R. digunakan istilah ouder herkomsten artinya kebiasaan –kebiasaan lama (kuno)
Pasal 71 ayat 3 R.R digunakan istilah Instellingendes Volks artinya Lembaga-Lembaga Rakyat
Pasal 11 A.B. Volksinstellingen oleh pembuat undang-undang untuk menunjukkan hukum yang berlaku bagi golongan Bumi Putera.
Dalam kepustakaan selain istilah –istilah tadi seringkali di gunakan istilah-istilah tadi seringkali di gunakan istilah-istilah lain misalnya:
1.      Volksrecht artinya hukum rakyat, istilah yang berasal dari Mr.Beseler.
2.      Maleischt Polynesissrecht yang antara lain pernah di gunakan oleh Prof.C.Van Vollenhoven.
Istilah ini oleh Van Vollenhoven dimaksudkan untuk menamakan, Hukum Indonesia yang paling asli.
Tadi disebutkan bahwa untuk menamai sistem yang tumbuh di kalangan orang indonesia telah di gunakan istilah godsdienstige wetten (Undang –undang Agama). Istilah ini rupa nya timbul sebagai akibat  dari penganut yang di namakan teori receptio in complexu yang di lancarkan oleh Mr.L.W.C.Van Den Berg.
Menurut teori ini, hukum sesuatu masyarakat atau bangsa adalah hukum dari agama yang di peluk oleh masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Dari sejarah kita mengenal bahwa istilah Hukum Adat yang sekarang kita pakai adalah berasal dari bahasa belanda yaitu sebagai terjemahan dari istilah adatrecht.
            Istilah hukum adat adalah nama yang diberikan kepada sistem hukum atau sistem pengendalian sosial yang bangkit tumbuh dan hidup disebabkan oleh dan hidup di dalam pergaulan hidup indonesia. Dari terjemahan bahasa belanda telah disebutkan bahwa yang pertama kali mengistilahkan adat adalah Snouck Hurgronje,bukunya yang berjudul “The Art Jehers die reactsgevolgen hebben”, artinya adat yang mempunyai akibat hukum. Jadi, hukum adat yaitu mempunyai akibat seperti akibat hukum yang terdapat di negeri Belanda.
Adapun pandangan –pandangan pendapat para ahli yang mendefinisikan tentang hukum adat sebagai berikut.
Bellefroid
“peraturan hidup yang meskipun tidak di undangkan oleh pengusaha tetapi di hormati dan di taati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan tersebut berlaku sebagai hukuman”.
Van Vollen Hoven
“Hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat kekuasaan lainnya yang menjadi sandinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan belanda dahulu”.
Ter Haar
“Hukum adat lahir dari dan di pelihara oleh keputusan –keputusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan beribawa dari kepala –kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuataan hukum atau keputusan para hakim yang bertugas mengadali sengketa ,sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut,diterima dan diakui atau setidak-tidaknya di toleransi oleh nya”.

Hukum adat itu adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionalis hukum (dalam arti yang luas meliputi: eksekutif ,yudikatif yang mempunyai wibawa (Macht authorty ))serta pengaruh dan pelaksanaannya berlaku serta (spontan) dapat di patuhi dengan sepenuh hati.
Jadi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum adat adalah  hukum tidak tertulis atau hukum yang tidak dikodifikasikan yang mempunyai  sanksi serta merupakan peraturan hidup yang  tidak di undang-undangkan  tetapi di hormati dan di taati oleh  rakyat dengan keyakinan sepenuh hati atau merupakan suatu peraturan yang lahir dan tumbuh dari masyrakat asli indonesia yang di jaga dan di peihara yang mempunyai wibawa (macht authorty) serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta  (spontan).
B.     Sejarah Hukum Adat Indonesia
Sejarah menunjukkan sebelum kedatangan orang barat di tanah air sudah ada dalam masyarakat manusia. Dimana masyarakat hidup dalam suasana yang tertib. Jadi jauh sebelum kedatangan orang barat di tanah air kita sudah ada sistem hukum. Sebelum orang barat datang dikalangan bangsa indonesia sudah terdapat orang yang memberikan perhatian kepada sistem kaidah yang bertujuan untuk menegakkan ketertiban  yang adil. Seperti misalnya Darwangsa, Gajah Mada, Kanaka.
Hukum adat, yaitu merupakan suatu perkataan, maka hukum adat pun pada dasarnya adalah suatu perkataan, tiap perkataan adalah cara mewujudkan aktivitas berbahasa.
Bahasa adalah komunikasi antar  manusia, artinya bahasa adalah alat untuk menyatakan isi hati kepada manusia lain, sehingga dapat dipahami.
Bahasa hukum,  bahasa dari sekelompok orang yang memberikan pengertian pada seluk beluk dan problema-problema atau bahasa hukum adalah cara untuk menyatakan nilai-nilai hukum. Karena itu dapat dikatakan bahasa hukum adalah bahasa dari sekelompok sarjana hukum (juris – tenstand).
Darmawangsah Gajah Mada dan Kanaka adalah pelaksana hukum yang perhatiannya pada hukum  hanyalah sejauh terdorong oleh usaha dan tanggung jawabnya untuk menegakkan ketertiban yang adil menurut keyakinan dan perasaan tentang adil dan tidak adil. Jadi orang ini tidaklah tertarik pada hukum seperti hal nya sarjana hukum yang tertarik kepada masalah hukum, masalah hukum sebagai suatu masalah ilmiah.
Hukum pada dasarnya ekspresi (pernyataan) dari pikiran dan peranan manusia tentang adil dan tidak adil, yang tumbuh dalam masyarakat. Wujud konkrit hukum adalah berupa kaidah. Jadi kaidah ditentukan mana yang adil dan tak adil.
Adil dan tidak adil berarti menilai. Tata hukum sebagai keseluruhan merupakan penilaian, atau merupakan perwujudan tata nilai (system of values). Yang menilai adalah manusia, yaitu tingkah laku dalam pergaulan hidup.
Menurut W.Friedmann penilaian tentang adil dan tidak adil, berpangkal pada man’s reflection on his position in the universe.
Penglihatan manusia tentang individu dalam pergaulan hidup adalah pandangan manusia tentang kehidupan dan dunia. Jadi disadari atau tidak, tingkah laku seseorang dan penilaian tentang tingkah laku itu dipengaruhi oleh falsafah hidup yang dianut.
Pertama kali memberikan perhatian pada hukum kepada masalah penertiban hidup bersama, secara ilmiah adalah orang belanda.. orang belanda pada masa lampau memberikan perhatian dan mempelajari kaidah-kaidah yang ditaati orang indonesia, mereka mempelajari berdasarkan pada pandangan, penglihatan, tentang tempat individu dalam pergaulan hidup di dunia barat.
Dalam kata lain orang belanda dipengaruhi oleh filsafah hidup barat. Alam pikiran orang belanda mempelajari gejala sistem kaidah indonesia adalah filsafah yang tumbuh pada zaman renaisance.
Untuk lebih memahami masalah yang sedang dipelajari perlu dilakukan peninjauan secara historis.Pada abad pertengahan kedua yaitu pada zaman feodal, eropa menganggap manusia tidak ada artinya sama sekali bila dilepas dari tuhan. Abad pertengahan yaitu kira-kira sampai tahun 700 – 800 masehi.
Renaisance berarti manusia menemukan kembali kepribadiannya. Yang berlandaskan faham individualisme, yaitu faham yang berpangkal pada postulat bahwa manusia ddilahirkan bebas sama sekali, serta masing-masing mempunyai kekuasaan yang penuh.
Berarti yang berdasar pada men are created free and equal dimana dalam bidang persoalan hukum di dasarkan individualisme, maka masalah keadilan adalah seberapa jauh individu, dapat menerima pembatasan-pemabatasan dari orang lain. Yang membatasi kekuasaan-kekuasaan dari individu-individu adalah hukum. Paham individualisme berpangkal pada Men Are Created Free and Equal, yang di hadapkan pada kenyataan,bahwa dalam hidup sehari-hari manusia harus mentaati ketentuan-ketentuan tertentu. Yang menentukan ketentuan-ketentuan itu adalah sekelompok orang, berarti ada sekelompok kecil yang berkuasa dari orang-orang lain, yang dimana gejala adanya kekuasaan itu menarik pada perhatian manusia.
Jean Boding, dalam bukunya yang berjudul,”les six livres de la republique”menyatakan bahwa kekuasaan dalam masyarakat ada di dalam tangang” the Souvereign”.
Tiga unsur kekuasaan atau kedaulatan(Souvereign) menurut Jean Boding sebagai berikut:
1.      Kekuasaan yang bersifat Mutlak atau Tertinggi
2.      Kekuasaan yang bersifat terus –menerus.
3.      Kekuasaan yang bersifat dijiwai oleh hukum alam (natural law).
Didalam masyarakat memang terdapat kebiasaan yang juga mengikat,tetapi kebiasaan itu bukan hukum, sebab tidak berasal dari “the souvereign”. Dimana kebiasaan tumbuh perlahan-lahan berdasarkan kata sepakat (yang tidak di ucapkan) dari anggota masyarakat sedangkan hukum harus bersumber dari pada the souvereign, atau hukum itu bersumber pada souvereignty.
Seperti dalam perkembangan pemikiran manusia selanjutnya, pendukung souvereignty itu beralih dari raja kepada individu –individu sebagai keseluruhan rakyat.
Kedaulatan yang ada pada individu-individu itu dilakukan melalui perwakilan –perwakilan rakyat yang mempunyai wewenang sebagai pembentukan atau badan yang turut serta dalam dalam pembentukan undang-undang.dari pemikiran ini lahirlah ide, bahwa hukum itu lahir dari undang –undang.
Dalam pemikiran itu, semua ketentuan-ketentuan yang tidak berbentuk undang-undang bukanlah hukum. Pendapat ini terkenal dengan nama Legisme.
Pada abad ke -19 di eropa berlaku ajaran Legisme dalam bidang pikiran Hukum. Menurut ajaran ini hukum hanya di temukan di undang-undang, hukum identik dengan undang-undang adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh badan yang tugasnya adalah membentuk undang-undang.dimana undang-undang yang di bentuk oleh pembentuk undang-undang itu selalu tertulis. Jadi, menurut ajaran ini yang tidak tertulis adalah bukan hukum, dengan demikian ketentuan –ketentuan yang berbentuk kebiasaan bukanlah hukum.
C.    Sejarah Perkembangan Budaya Adat Bangka Belitung
Bangka Belitung memiliki wilayah hukum adat pokok tersendiri. Ini sangat menarik untuk dipahami karena selama ini kita orang Bangka Belitung selalu mengaku adalah orang melayu. Meskipun pengakuan itu adalah pengakuan yang tidak salah karena ia tumbuh secara sosial, artinya berkembangnya pengakuan itu berdasarkan tolokukur kemiripan budaya (kesamaan secara umum) ciri, sipat, atau karakter dengan orang melayu kebanyakan yang mendiami pesisir Timur Sumatera, Semenanjung Malaya, Kepulauan Timur Sumatera hingga Kalimantan Barat.
Pertumbuhan pengakuan secara sosial itu muncul dari persamaan aspek; Agama, Bahasa, dan Adat-istiadat. Namun dari ketiga aspek tersebut hanya agama yang lebih spesifik mencirikan kesatuan yang dominan bahwa melayu identik dengan Islam. Sedangkan tinjauan bahasa dan adat istiadat dari tiap-tiap wilayah memiliki spesifikasi tersendiri ini dikarenakan dipengaruhi oleh geografis dan sistem politis yang berbeda-beda.
Pengaruh itulah, kemudian membentuk kesatuan hukum adat tersendiri, termasuk di wilayah Bangka Belitung. Atas dasar faktor geografis dan politis, Bangka Belitung sesungguhnya memiliki wilayah hukum adat pokok. Ini sebenarnya membanggakan bahwa Bangka Belitung memiliki wilayah hukum adat tersendiri, dan tidak perlulah pusing berpikir mencari jati diri sebagimana selama ini memusingkan pikiran mencari akar budaya agar memiliki identitas budaya sebagai orang Bangka Belitung yang telah berdaulat ketika memiliki provinsi sendiri.
Wilayah hukum adat pokok menandai bahwa wilayah atau kawasan tersebut memiliki aturan tersendiri yang spesifik berlaku sebagai hukum yang mengatur adat-istiadat setempat. Hukum adat pokok ialah hukum yang memiliki keaslian yang tidak dimiliki oleh wilayah hukum adat pokok lainnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh J.W.M. Bakker SJ dalam “Filsafat Kebudayaan” Kanisius 1984. Dari 358 suku bangsa dan 200 sub suku yang menghuni Indonesia (Daftar dalam Sosiografi Indonesia I (19590 76-90), tetapi mereka tidak relevan untuk kebudayaan selaku kesatuan-kesatuan antropologis. Kesatuan subjek kebudayaan sejati terletak pada wilayah hukum adat, sebanyak 19 dengan 5 anak wilayah. Kesembilan belas wilayah itu memiliki struktur budaya yang mantap melalui zaman sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import.
Dari kesembilan belas wilayah hukum adat pokok itu, Bangka Belitung ada dalam urutan ketujuh; mulai dari 1. Aceh, 2. GayoAlas, Batak, 3.Minangkabau, 4.Sumsel, Jambi, 5.Malayu, 6.Dayak Raya, 7. Bangka Belitung, 8. Sunda, Jawa Barat, 9.Jawa Tengah, 10.Jawa Timur, 11.Bali,Lombok, 12.Sulawesi Selatan, 13.Toraja, 14.Gorontalo, 15. Plores, Timor, 16 Minahasa, Sanghitalaud. 17.Maluku Utara, 18. Maluku Selatan, 19.Irian Barat. Sedangkan sub wilayah hukum adat adalah; Nias, Mentawai, Enggano, Madura, serta Makasar. Wilayah hukum adat pokok melayu masuk di urutan ke lima meliputi; Malaka, Medan, Johor, Siak, Riau, Pontianak, dan Sambas.
Wilayah hukum adat pokok itu menghimpun kesatuan yang kuat antar suku-suku yang ada diwilayah tersebut dari sejak awal hingga kini, kesatuan suku-suku itu menempati wilayah itu di mana hukum adat itu berlaku. Hukum adat itu eksis karena adanya pemerintahan oleh raja, ia hadir dan tumbuh sejak zaman Keprabuan (Masa Hindu atau Budha) atau sejak zaman Kesultanan.
Bangka Belitung memiliki sistem kekuasaan atau pemerintahan yang menyatukan semua suku-suku itu. misalnya di Belitung memiliki kerajaan Balok yang berkuasa di seluruh wilayah kepulauan Belitung, berkuasa sejak abad enam belas hingga abad ke sembilan belas mulai Dari Cakraninggrat I tahun 1618 hingga Cakraninggrat X tahun 1890. Sistem adat yang tumbuh dari kekuasaan raja ini yang kemudian melebur dalam sistem masyarakat adatnya oleh Belanda disebut Zelfbesturende landschappen.
Bagaimana sistem masyarakat adat di Bangka yang disebut dengan Volksgemeenschappen, tentulah Bangka memiliki sistem hukum adat yang tumbuh dari pemimpin masyarakatnya yang menguasai wilayah masing-masing di Pulau Bangka, di antaranya para Depati di daerah Jeruk, Tumenggung di Wilayah Mentok, Raden di wilayah Toboali, Demang di Kota Waringin, serta para Batin dan lain-lainnya.
D.    Perkembangan Budaya Melayu Bangka Belitung
Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Palembang ke Malaka, Tetapi bahasa melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya. Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam.
Penyebaran budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.
Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.
Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya. Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman.
Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya. Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha.
Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Masud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa Islami dan pembacaan syair marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
 Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung?
 Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.
Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.
Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.
 Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.
E.     Adat Dan Tradisi Budaya Bangka Belitung  
Kebudayaan yang tumbuh di Bangka Belitung erat kaitannya dengan dominasi tersebut di atas; di satu sisi Islam diterima dalam masyarakatnya sebagai aturan hukum wajib agama namun tradisi kepercayaan yang melebur pada sistem kepercayaan masyarakatnya masih cukup kental yang berlaku pada penduduk-penduduk perkampungan, suku-suku, serta etnik yang masuk setelah masa kolonial Belanda yaitu Etnik China.
Hukum adat yang mesti dieksekusi oleh raja tentu tidak akan berlaku ketika pemerintahannya sudah tiada. Hukum yang adat yang berlaku sesudahnya adalah hukum yang masih di jalankan oleh pemangku yang ada di bawahnya. Hukum adat yang ada di bawah raja yaitu yang ada pada masyarakat adatnya; misalnya sesepuh turunan raja, kepala kampung, kepala suku. Sedangkan adat-istiadat lokal masyarakatnya ada di bawah para penghulu dan dukun kampung serta sedangkan wewenang tentang perihal tradisi kepercayaan ada pada dukun-dukun, seperti; dukun obat, dukun angin, dukun hujan, dukun hutan, dukun api, dukun madu, dukun buaya, serta dukun di berbagai spesifikasi lainnya.
Raja, kepala suku yang menggelar hukum adat di masa kekuasaannya akan membentuk karakter masyarakatnya yang di kemudian disebut adat masyarakat. Karakter itu akan tercermin dalam sikap masyarakat wilayah tersebut. Misalnya salah satu contoh ketika Cakraninggrat III KA Gending (1696-1700) Raja Balok di Belitung, memberlakukan hukum adat tetukun; yaitu apabila orang asing akan menikahi gadis wilayah itu, harus membayar sejumlah uang kepada ngabehi, serta tak boleh membawa pulang perempuan yang dinikahi tersebut, si lelaki mesti tinggal di wilayah
kekuasaan hukum raja. Dampak tersebut setelah raja dan ngabehi tidak lagi memberlakukan hukum tersebut maka kini terserap dalam tradisi “berebut lawang” di mana penganten laki-laki mesti membayar pada penjaga pintu atau lawang di rumah mempelai perempuan.
Berbagai upaya masyarakat untuk membuat hukum tetukun tersebut menjadi mantap di masanya; secara sikap sosial tentu saja masyarakat setempat mesti terbuka dan memiliki toleransi yang tinggi, hingga setiap orang asing yang menikahi gadis Belitung di masa itu akan betah karena sikap masyarakat yang positif itu.
Bagaimana jika ada usaha untuk hanya sekedar menikahi misalnya, tentu saja peran mistik dari dukun menjadi berperan hingga muncul asumsi jika sudah terminum air setempat maka orang tersebut akan betah! Dan kesan yang muncul kemudian adalah asumsi; Jika orang asing sudah menikahi gadis Belitung maka ia takkan bisa pulang lagi ke negeri asalnya. Belum lagi hukum yang berkaitan dengan pidana dan perdatanya yang membentuk karakter masyarakatnya hingga mereka menghormati hak-hak antar warganya.
Misalnya jika seorang membunuh disertai dengan penganiayaan maka hukumannya adalah di gantung sampai mati. Atau jika membunuh dengan alasan pembelaan maka dihukum menjadi budak turun-temurun atau di denda. Jika mencuri hukumannya wajib mengembalikan barang curian disertai dengan denda dan jika tak terbayar akan menjadi budak raja. Jika seorang mengambil istri orang atau melakukan perzinahan maka hukumannya dibunuh di muka umum. Seorang yang menipu akan sama berat hukumannnya dengan mencuri. Seorang yang berhutang harus membayar kembali hutangnya jika tak terbayar hutangnya maka ia harus bekerja pada seorang yang memberi piutang dengan diperhitungkan upahnya hingga hutang-hutangnya lunas.
Hukum-hukum yang mengatur tentang pemanfaatan tanah dan hutan adatnya juga diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat adat tersebut menjadi bijak menggunakan kekayaan alamnya. Hanya orang-orang yang tak tahu adatlah kemudian banyak melanggar sistem yang telah terbentuk dalam masyarakat adat tersebut.
Kelemahan hukum adat Bangka Belitung pada dasarnya tidak pernah diundangkan secara tertulis baik oleh raja, depati, batin, atau pun kepala suku karena masyarakatnya begitu patuh dengan pemimpin mereka. Norma yang tak tertulis itu menjadi titik lemah dalam perkembangan tradisisinya karena kebudayaan selalu bergeser dinamis sehingga pendatang atau yang bukan penduduk asli menjadi ogah untuk menaati hukum adat setempat.
Keunggulan dari norma atau hukum adat yang tak tertulis itu adalah loyalitas dan kebersamaan tetap terjaga pada lingkungan masyarakat adatnya. Ia dengan sendirinya membentuk karakter masyarakatnya menjadi masyarakat yang homogen. Otonomi raja yang pernah mempersatukan masyarakatnya dalam satu simbol kekuasaan akan mencerminkan watak atau karakter tersebut, misalnya pada masyarakat pulau Belitung, mereka homogen dalam bahasa, agama, dan adat istiadat. Suku-suku lain dari komunitas yang lebih kecil pun kebanyakan sudah melebur dalam sistem tersebut.
Misalnya Suku Sekak sudah banyak yang masuk Islam, serta menguasai bahasa setempat, meski tradisi kepercayaan mereka tak mungkin mereka hilangkan. Adat atau norma yang dieksekusi oleh Kepala Kampung dan para kepala suku, itu menyangkut tentang semua aturan setempat yang kini lebih dikenal dengan sebutan kearifan lokal adalah aturan yang sudah berlaku secara turun-temurun. Aturan tersebut kemudian dipertegas secara kepercayaan oleh para dukun dan secara agama oleh penghulu atau lebai kampung. Kearifan lokal yang berkaitan dengan alam sebagai sumber kehidupan yang kemudian mentradisi secara ritual berkaitan dengan kepercayaan diakumulasikan dalam acara ritual misalnya seperti; Buang Jong pada suku Sekak, Nuju Jeramik pada suku Urang Lom, Maras Taon di tradisi Urang Belitong. Kearifan lokal sehari-hari yang dipatuhi masyarakat, implementasinya begitu sederhana dan mudah untuk diterapkan misalnya berkaitan dengan hutan; jangan menebang kayu dimasa pohon sedang berpucuk; jangan menebang pohon di hutan hulu sungai atau hutan mata air; jangan membuka dan membakar hutan tanpa ada petunjuk dari dukun kampong dan dukun api, dan lainnya. Di bidang perburuan hewan misalnya; jangan berburu di musim bulan terang, jangan membunuh hewan yang lagi bunting, dan lainnya.
F.     Hubungan Antar Manusia dengan Manusia
Bagaimana hubungan antar manusianya? Adat tradisi yang berkaitan ritualitas pernikahan, di Bangka Belitung memiliki eksotika tersendiri misalnya tradisi prosesi melamar, prosesi seremonial pernikahan, prosesi pesta pernikahan, Belitung terkenal dengan istilah Begawai yang prosesinya melibatkan perangkat penghulu hingga personil perangkat kerjanya yang dilaksanakan secara sistematis dan unik hingga kini. Di Bangka di kenal juga adanya tradisi Kawin Massal dengan prosesi kebersamaan adat sepintu sedulangnya
Berbicara mengenai perkawinan, setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing masing dalam pelaksanaannya. Begitu juga dengan adat perkawinan di Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terdiri dari dua pulau ini, yaitu pulau Bangka dan Pulau Belitung, memiliki adat perkawinan berbeda. Jika di Bangka, kebanyakan tradisi dan proses perkawinan dilakukan secara Islami, maka di Belitung ada perbedaan yang cukup signifikan.
1.      Adat Perkawinan Di Pulau Bangka
Tradisi perkawinan disini sangat dipersiapkan betul segala sesuatunya, mulai dari persiapan apa saja yang harus dilakukan, bagaimana pelaksanaan upacaranya, dan bagaimana pula dengan perencanaan dan persiapan setelah pernikahan menuju realitas berumah tangga. Semua itu harus dipersiapkan sesempuna mungkin.
Untuk proses perkawinannya, karena masyarakat Bangka sangat kental dengan budaya Melayu, maka segala hal dilakukan berdasarkan kebudayaan tersebut, tanpa melupakan tata cara dan pelaksanaan secara Islami, karena masyarakat disana cukup kental dengan keislamanannya. Untuk hiburan dan kesenian yang diadakan pada pesta perkawinan di Bangka, antara lain Dambus, Tari Zapin dan Tari Campak.
2.              Adat Perkawinan Di Pulau Belitung
Ada yang berbeda di Belitung, yaitu pada proses lamaran. Kalau umumnya lamaran dilakukan oleh seorang pria kepada wanita yang menjadi pilihannya, maka disini tidak ada aturan khusus siapa yang harus melamar dan siapa yang harus dilamar, karena buktinya pihak wanita pun bisa melamar pria yang ingin dinikahinya. Sifatnya fleksibel dan bisa diatur sesuai kesepakatan antara pria dan wanita yang ingin menikah tersebut. Proses pernikahan di Belitung cukup lama, yakni bisa memakan waktu sampai 7 hari 7 malam.
Yang menarik pada tradisi pernikahan di Belitung, yaitu proses dimana mempelai pria mendatangi rumah mempelai wanita di hari pertama. Disini mempelai pria datang tanpa didampingi orang tua dan keluarga, tapi hanya ditemani oleh saudara dari ayah atau ibu. Saat datang, mereka harus melewati 3 pintu, yang masing masingnya dijaga oleh orang yang berbeda. Di pintu 1 ada tuan rumah dan Tukang Tanak (orang yang memasak nasi), di pintu 2 ada Pengulu Gawai (pemimpin hajatan), di pintu 3 ada Mak Inang (tukang rias). Ketiga pintu tersebut dilewati sambil berbalas pantun antara pengantin pria dan wakilnya dengan penjaga tiap pintunya. Proses dan tradisi ini disebut dengan Berebut Lawang.
Jika sudah melewati 3 pintu tersebut, maka akad nikah pun dilaksanakan. Dan pada keesokan harinya pengantin pria datang lagi beserta orang tua dan keluarga lainnya untuk mengikat silaturahmi antara kedua keluarga.

G.    KESENIAN DAN ADAT ISTIADAT BELITUNG

1.      MARAS TAUN
maras taun berasal dari kata "maras" yang berarti "meniris ( membersihkan duri halus) dan "taun" berasal dari kata "tahun". maras taun diadakan setiap setahun sekali oleh masyarakat belitung sebagai wujud rasa syukur setelah melewati musim panen padi dan juga bertujuan selamatan kampung untuk membersihkan kampung dari marabahaya dan untuk keselamatan & kesehatan masyarakatnya. Dalam acara maras taun ini banyak kesenian-kesenian yang di tampilkan seperti tari sepen, nutok lesong panjang, ngemping dan lain-lainnya.
2.      CAMPAK
Campak  di Belitung ini ada 2 macam yaitu Campak Darat dan Campak Laut.
Tarian ini adalah tari khas masyarakat belitung dari suku sawang yang merupakan tari hiburan bagi masyarakat belitung. tari ini dibawakan oleh dua atau empat orang penari wanita dan diiringi oleh penari pria secara bergantian. Dalam tarian ini diselingi dengan berbalas pantun antara penari pria dan wanita sehingga tarian ini akan sangat meriah dan ceria. Alat musik  yang mengiringi tarian ini seperti Gong, Gendang, Biola, Tawak-tawak.BERIPAT BEREGONG Beripat berasal dari kata "Ripat" artinya "memukul atau mencambuk dengan menggunakan alat, sedangkan Beregong berasal dari kata "Gong" yaitu alat musik yang mengiringi permainan ini. Permainan ini dilakukan oleh kaum pria yang mempertunjukan kebolehan /keterampilan dalam memainkan senjata (rutan segak yang lentur ukuran 1,30cm). alat musik yang mengiringi yaitu Gong, Gamelan, dan Serunai.


3.      LESONG PANJANG
Lesong panjang biasanya dimainkan pada saat musim panen padi tiba. alat utamanya adalah sebuah lesung yang terbuat dari kayu pilihan yang bersuara keras dan jernih. lesung panjang bervariasi antara 1 - 1,5 meter dengan diameter 25 cm sampai 30 cm, lesong dibuat dnegan berbagai model dan ukuran sesuai dengan selera pemain. alat untuk memukul lesong dinamakan ALU dengan panjang bervariasi dari 75 cm hingga 120 cm dengan diameter hingga 6 cm.
4.      DUL MULOK
Kesenian ini merupakan kesenian tradisional yang berasal dari desa kembiri yaitu pentas sejenis opera yang mana sumber ceritanya berasal dari Syaer (syair) lama. Alat-alat yang digunakan dalam kesenian ini meliputi satu buah gendang panjang dan satu buah piul atau biasa yang dikenal dengan biola.
5.      TARI SEMBAH
Tari sembah atau tari sambut merupakan tari selamat datang atau sekapur sirih yang menggambarkan rasa kegembiraan dengan musik dan nyanyian yang mengekspresikan kehangatan dalam penyambutan. tarian ini biasanya digelar pada saat menyambut tamu atau bisa juga pada saat resepsi dan upacara selamatan. tarian ini diperagakan atraksi petaburan beras kunyit yang melambangkan doa permohonan keselamatan dan kegembiraan tamu.
6.      TARI TULAK BALAK
Tarian ini diangkat dari upacara yang sering dilakukan masyarakat untuk menolak mara bahaya guna menjga keselamatan kampung dari berbagai penyakit. tarian ini dilakukan dari ujung ke ujung kampung, guna mengusir bencana alam dari kampung, digunakan kesalan berupa irisan daun neruse, ati-ati dan bungan rampai yang telah diberi mantera oleh dukun kampung.
7.      MANDI BELIMAU
Mandi belimau adalah salah satu adat istiadat di pulau bangka belitung yang diadakan menjelang bulan ramadhan. tujuan mandi belimau ini adlah untuk membersihkan diri dan pensucian diri baik lahir maupun batin menjelang bulan ramadhan.

8.      BUANG JONG
Buang jong adalah upacara ritual suci dari suku sawang suku asli dari pulau belitung. upacara diselenggarakan di tepi pantai dengan acra menyahutkan sebuah kapal kecil yang dihiasi dengan daun kelapa dan beberapa macam bahan persembahan didalamnya. Tradisi ini dilaksanakan antara bulan Agustus sampai bulan November oleh suku sawang untuk memperoleh keselamatan disaat mereka berlayar dilaut.

H.    Budaya dan Tradisi Masyarakat Belitung
Wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung telah membentuk kesatuan adat tersendiri, ia tak lekang oleh zaman karena sudah melebur ke dalam karakter masyarakatnya. Namun perubahan arus budaya barat dari Belanda dan budaya timur dari China yang mulai masuk sejak eksploitasi timah di kedua wilayah Bangka belitung cukup berpengaruh di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi maka akulturasi dan inkulturasi pun tak terelakan. Karakter masyarakat pekerja timah pada perusahaan timah cenderung menjadi peodal pada masa-masa permulaan.
Gejala ini muncul ketika Belanda memberlakukan pengkotakan, sistem levelitas pada pekerja di maskapainya. Ini muncul di Belitung; misalnya level jabatan karyawan tertentu akan mendapat keistimewaan dan pasilitas kesejahteraan tertentu pula. Tak aneh jika dikemudian muncul sikap yang merendahkan level yang terbawah, namun tak aneh pula jika level terbawah ini jika status sosial mereka terdongkrak akan bersikap angkuh dan sombong! Pulau Bangka yang masyarakatnya lebih plural, hampir tak mengenal sistem peodal karena Kolonial Belanda merasa kesulitan menguasai karakter pada masyarakat yang tidak homogen.
Kecuali perlakuan khusus pada penguasa orang-orang China, misalnya pemberian kekuasaan pada orang China yang kooperatif seperti diberikan pada Kapiten China. Ini memungkinkan untuk balance of power karena sebelumnya orang-orang China pekerja parit timah telah mengadakan pemberontakan yang dipimpin oleh Liu Ngie tahun 1842-1900. Di Belitung hampir tak ada pemberontakan dari komunitas etnik China ini, kapiten China yang mengepalai komunitas China di Tanjung Pandan pada masa itu adalah Ho A Jun. Pengaruh pemberontakan ditingkat bawah itu, membuat orang-orang China pada strata kuli ini memiliki rasa kebersamaan nasib hingga hubungan sosial dengan masyarakat asli menjadi akrab maka tak aneh jika keturunan etnik China di Bangka, ada yang tak bisa lagi menggunakan bahasa ibunya.
Perkawian campuran, dan eknik China yang masuk Islam sudah bukan hal baru. Akulturasi di salah satu identitas budaya Bangka; kelengkapan pakaian adat pengantin adat Bangka yang disebut dengan Paksian ada dipengaruhi oleh budaya China terutama pada warna serta simbol-simbol mahkota pengantin perempuan yang disebut dengan Paksian. Sedangkan pada identitas budaya lainnya seperti kesenian; sastra pantun yang erat kaitannya dengan bahasa melayu, ia masih tetap eksis.
Pada tarian terjadi akulturasi dari China, Arab dan Melayu. Musik tradisional gambus pengaruh Persianya sangat kental. Kesenian asli yang tak terpengaruh adalah kesenian campak Suku Sekak atau Suku Laut, tapi kesenian asli ini kurang nampak mendapat perhatian hingga kemungkinan akan lenyap begitu saja.
Budaya Masa Kini Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter masyarakat adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian abad lalu dan itu telah menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.
Akar budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak ada pengaruh kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi pasal 32 UUD 45 yang diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang hak-hak masyarakat adat Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Orang Bangka mengenal istilah “Budaya Dak Kawa Nyusah” ini yang menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang, sebenarnya ada apa dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya begitu malas dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam hubungan sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut mengarah pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar tetap eksis. Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti terpenuhi hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.
Karakter “Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak mendukung sebuah kemajuan. Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan apa manfaatnya bagi masyarakat adat yang hidup dengan makna itu.
Bangka Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya; kekayaan hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang bermula hidup dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah penghidupan mereka hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan kehidupan antara alam dan penggunanya.
Misalnya penggunaan tanah hutan wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan hutan wilayah cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan buruan akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber air serta penghidupan habitatnya. Oleh aturan itulah membuat pola hidup masyarakat menjadi tentram hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan atau mata pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa sehingga tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi, menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan saling membantu dan bergotong royong.
Masyarakat dalam pola ini takkan mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah untuk didapat. Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat yang berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu, tidak ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial, apalagi rasis! Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya luar beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi pun berangsur berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai dihadapkan pada pola hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat hidup, Belanda dengan kebijakannya meminggirkan aturan adat terhadap hutan dan tanah karena kepentingan terhadap timahnya.
Pola hidup dari pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja tambang timah. Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam dekade yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan “kemakmuran” hingga menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola konsumtif karena terus tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas maskapai perusahaan timah tersebut. Hingga kemudian pada dekade berikutnya ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, menyebabkan para karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung dengan pola itu menjadi bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka Belitung dibuka bebas. Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, bermula pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola tersebut tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus berpegang dalam pola “ndak kawa nyusah” dan terus hidup tergantung pada sumber daya alam.
Adakah alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh dan berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak bersandar pada potensi yang mengeksploitasi sumber alamnya? Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu? Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena tolok ukur dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak melihat budaya adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling terkait dengan semua aspek kehidupan yang melingkupinya maka sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita yang kita beri arti dan makna.
Maka sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan bertahan ketika kita telah memberinya dengan arti dan makna yang saling berbeda? Identitas sosial budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi berbeda bentuknya meski memiliki tujuan yang sama yaitu membangun peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu rumah adat dibuat dan difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula kantor-kantor pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat bagaimana hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.
Jika dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini bagaimana pula budaya kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu keramahan adalah kesantunan terpuji, tapi kini bagaimana pula jika kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu budaya kerja keras yang halal adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula budaya korupsi adalah sebuah gengsi dan prestise. Budaya kini, dalam arus global yang tak mungkin terbendung. Mampukah kita mempertahankan budaya kita dalam arti yang sesungguhnya; yaitu memberinya makna agar tujuan hidup memiliki sebuah nilai kehormatan baik secara horizontal dan vertikal? Ian Sancin Budayawan Bangka Belitung Penulis Novel Yin Galema.sejarah tentang.
I.       Permasalahan Tanah Adat Di Bangka Belitung
Di wilayah Bangka Belitung, tanah adat masih menjadi pengetahuan yang abstrak hingga saat ini. Tanah adat sering juga disebut dengan tanah ulayah atau tanah kawasan.
Tanah tersebut pada awalnya adalah tanah yang dimanfaatkan penduduk pemukim di mana mereka hidup menetap dan mencari penghidupan di dalamnya, tanah kawasan itu menjadi milik bersama karena mereka bergantung hidup di dalamnya secara tradisional turun temurun; baik berburu, berladang atau pun mencari hasil-hasil hutan di dalamnya.
Jadi tanah ulayah pada dasarnya adalah sumber dari segala sumber kehidupan mereka. Dari filosopi inilah kemudian kita mengenal sebutan dengan Tanah Tumpah Darahkuyang dijadikan sebagai wujud kecintaan yang sakral pada tanah tempat mereka dilahirkan dan tumbuh berkembang di sana.
Tanah ulayah itu berlanjut terus berabad-abad karena tradisi tersebut, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya pemukiman; dari hutan menjadi huma, kelekak, parong, kubok, kampung, desa, dan seterusnya maka perubahan itu memerlukan pengaturan karenanya munculah kemudian istilah tanah adat atau wilayah yang diatur untuk kepentingan masyarakat yang memanfaatkannya. eksisnya tanah adat yang di atur oleh ketua adat di pemukiman tersebut; kepala suku, dukun, batin, depati, raja, dan lain-lain dengan sistem yang di sesuaikan dengan wilayah yang kemudian di sebut dengan aturan adat.
Aturan itu kemudian disebut hukum adat, hukum itu ada yang tertulis dan tidak tertulis, sejauh ketaatan penduduk di situ tetap berjalan maka hukum adat selalu tidak tertulis karena pada dasarnya masyarakat yang beradat dan sadar dengan adat istiadat maka mereka pasti menghormati hukum itu. Masyarakat tradisional Bangka Belitung termasuk kategori masyarakat adat yang sadar dan taat pada hukum adat yang tak tertulis.
Karenanya itulah, tanah adat adalah tanah penduduk pemukim yang mengitari wilayahnya secara turun-temurun sesuai dengan proses seperti uraian di atas. Munculnya istilah tanah negara, itu baru ada setelah terbentuknya Negara Repuklik Indonesia. Tetapi negara dalam kebijakannya tetap berpihak pada rakyat maka negara tetap berpendirian dan menghargai hak tanah rakyat atau tanah adat itu. Karena itu, pada pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Tentang Penguasaan tanah oleh negara tetap dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Munculnya berbagai kepentingan atau usaha pemanfaatan tanah maka sistem pengaturan tata guna tanah kemudian diatur dengan undang-undang pokok agraria. Persoalan yang muncul sekarang adalah ketika kita tidak berpedoman pada pasal 33 sebagai pasal yang lebih kuat dari segala pasal yang ada terhadap undang-undang yang mengatur ditingkat bawahnya maka akan terjadi salah penafsiran atau mungkin disalahtafsirkan.
Banyak kemudian, demi kepentingan institusi atau orang-perorang; kapitalis, broker, atau pribadi lainnya yang mau menguasai apa yang di sebut tanah negara yang di dalamnya terdapat tanah ulayah tersebut, mereka menguasainya tanpa mengindahkan kepentingan yang lebih luas seperti yang di amanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut. Karenanya timbulah konplik kepentingan di dalamnya. fenomena konplik ini sudah menjadi persoalan klasik di negara ini.
Termasuk beberapa persoalan tanah di wilayah Bangka Belitung. Karena itulah, sepatutnya kita berkiblat pada kepentingan untuk kemakmuran rakyat. Karena tolokukur kemakmuran menjadi berbeda dari tiap dimensi maka seringkali ketika pemanfaatan tanah, baik oleh institusi, kapitalis, atau perorangan yang justru mengeliminasi atau memiskinkan rakyat pemukim di wilayah tanah ulayahnya, seperti penomena urbanisasi pada masyarakat agraris; padahal ketika petani kehilangan tanahnya maka pemerintah mendapatkan persoalan sosial baru yang tak kalah tragis dan jika dibandingkan dengan rakyat yang tak  makmur tapi hidup tentram di tanah wilayah pemukimannya.
Rakyat atau masyarakat di sekitar tanah ulayahnya dengan ukuran kemakmuran masing-masing seharusnya tidak terusik oleh kepentingan yang hanya menguntungkan diri sendiri, atau kelompk yang lebih kecil karena itulah pemerintah hendaknya lebih teliti dan jeli jika ada perorangan yang banyak menguasai tanah dengan legislasi hukum tapi tak jelas pemanfaatannya secara produktif.
Karena itu juga rakyat jangan terjebak ingin cepat melepaskan tanahnya pada pihak lain tapi justru kemudian memiskinkan anak cucu mereka di kemudian hari karena tak ada lagi memilki tempat bermukim dan berusaha. Tanah Adat Bagaimana dengan tanah adat di Bangka Belitung. Perbandingan Sistem hukum adat yang kita suguhkan di sini adalah yang berlaku di Belitung karena struktur adat di sana masih relevan dan terjaga meski saat ini sudah banyak juga yang terdegredasi.
Tanah adat muncul sejak lama dan di kuasai oleh masyarakat secara tradisional, di atur sistemnya oleh Depati Cakraninggrat sebagai penguasa adat yang kemudian ditransformasikan sampai ke level bawahnya yaitu Dukon Kampong. Tanah adat itu terbagi menjadi tiga sesuai dengan pemanfaatannya, yang Pertama tanah hutan lindung, kedua tanah hutan cadangan selanjutnnya adalah tanah hutan ume atau ladang tanah ume, Tanah ladang inilah yang sekian tahun berikutnya menjadi tanah adat wilayah atau ulayah sering di sebut dengan “Kelekak” seperti Hutan Kelekak Datuk, Kelekak Teledok, Kelekak Usang, Kelekak Kik Barat, Kelekak Kapok, Kelekak Ludai, dan puluhan Hutan Kelekak lainnya. Kelekak pun terbagi menjadi dua; kelekak yang terbiarkan menjadi hutan asli kembali setelah diladangi, atau kelekak tanam tumbuh setelah ditanami dengan berbagai pohon yang bisa dimanfaatkan hasilnya.
Dalam prosesi ladang menjadi kelekak, sistem tradisi yang dianut oleh rakyat pemukim kedua wilayah Bangka Belitung tak jauh berbeda. Karenanya sistem atau hukum adat istiadat ini tetap menjadi pengetahuan masyarakat tradisional hingga saat ini. karenanya tak heran jika kemudian hari dalam berbagai konflik tanah, mereka mengklaim tanah tersebut adalah tanah moyang mereka karena moyang mereka telah pernah menggarap tanah itu sebelumnya.
Karena itulah dalam masyarakat adat tradisional Belitung, sistem penguasaan tanah menyerahkan batas-batas wilayah tanah adatnya pada dukun Kampong yang tahu batas-batas wilayah hutan mereka. Pengaturan kekuasaan para dukon kampong tentang wilayah atau tanah adat tersebut tidaklah memerlukan bukti fisik kertas oleh legislasi negara, barulah kemudian pada masa Pendudukan Belanda muncul istilah Batas Mynterein dengan hutan Gemeente, hutan Gouvernement, dan hutan Boschcompleek.
Tanah adat hutan lindung biasanya adalah tanah hutan-hutan yang melindungi sumber-sumber air sungai. Maka diantaranya, hutan hutan tersebut adalah hutan yang terdapat di hulu-hulu sungai, seperti hulu Sungai Lenggang, Renggiang, Buding, Kubu, Cerucok dan hulu sungai lainnya. Tanah adat hutan cadangan adalah tanah hutan-hutan yang banyak menghasilkan hasil hutan seperti; damar, garu, madu, kayu peramu rumah dan lain-lain, hasil hutan ini memang bagian dari komoditi perniagaan pihak kerajaan maka raja atau depati mesti melindunginya hutan ini. Tanah hutan peladangan adalah tanah rakyat yang kemudian kita kenal menjadi hutan kelekak dan kelekak tumbuhan setelah digarap oleh penduduk.
Sistem pengarapan ulang atas tanah yang sudah menjadi kelekak hutan sering terjadi di Bangka Belitung, ini disebabkan karena penggarap masih merasa berhak menggarap tanah itu, karenanya dalam masyarakat tradisional yang mau menggarap tanah mereka yang sudah tak ketahuan rimbanyanya lagi, akan meminta bantuan kepada dukun, dan di Belitung mengenal adanya dukun hutan, dan dukun lainnya seperti dukun api; jadi jika mau membakar hutan buat berladang serahkan pada akhlinya ini, hutan takkan terbakar ke mana-mana.
Karena itu, kearifan lokal tentang hutan, daerah ini takkan mengenal adanya perambah hutan yang membakar hutan sekenanya juga takkan ada pembabatan hutan semena-mena oleh masyarakat adatnya karena sistem adat sudah mengatur sedemikian rupa secara sistemik dan futuralistik Perlindungan hutan secara adat itu juga dikarenakan adanya kearifan untuk menjaga ekosistem di dalamnya; tentang berburu misalnya, itu sudah di atur sedemikian rupa, diantaranya tidak diperkenankan berburu pada bulan purnama; secara mistik itu adalah hak berburu Antu Berasuk, tapi ilmiahnya karena saat purnama adalah musim kawin para binatang hutan, juga tak diperbolehkan membunuh hewan buruan jika hewan tersebut lagi hamil dan berbagai kearifan lainnya.
Karena itulah, Bangka Belitung termasuk dalam urutan ke 7 dari 19 dari wilayah hukum adat di seluruh wilayah hukum adat yang ada di Indonesia. Kesembilan belas wilayah hukum adat itu memiliki struktur budaya mantap melalui zaman sampai ambang waktu sekarang, tidak lenyap oleh peradaban import ( J.W.M Bakker Sj. Tentang struktur kebudayaan “Filsapat Kebudayaan” Kanisius 1984) Tanah Hutan Bangka Belitung Apa yang terjadi saat ini ketika setiap orang telah berhak mengatasanamakan berbagai kepentingan untuk menguasai tanah wilayah. Sejarah mencatat, kepentingan menguasai tanah secara brutal sudah berawal ketika penambangan timah mengekploitasi hutan-hutan produksi, sejak zaman pendudukan Belanda, hingga zaman kini, tanah-tanah hutan tergerus tanpa ada hutan pengganti yang seimbang secara biologis yaitu kembalinya ekosistem yang mendekati sediakala.
Pada masa penambangan timah oleh Belanda upaya penyelamatan tanah-tanah adat oleh pemangku adat yaitu  upaya dari para dukun di Belitung nampak juga kurang begitu efektif meski banyak daerah yang ter kenal dengan istilah kemistis masyarakat-nya (religiomagis) dalam kehidupan tradisional masyarakat adat belitung .dengan sebutan dengan Pengkopongan bijih timah, artinya wilayah itu sengaja dikosongakan bijih timahnya secara mistis oleh para dukun agar wilayah itu terselamatkan. Upaya para dukun tak efektif karena pada masa itu, Depati Belitong sudah dapat diajak kerjasama oleh Belanda dengan diberikannya penguasaan saham dari beberapa parit timah, diantaranya Parit Timah Bengkuang di distrik Manggar dan beberapa parit lainnya.
Meskipun begitu pada tahun 1927, setelah 75 tahun badan usaha penambangan timah Belanda, Billiton Maatschappy memberikan konvensasi kepada rakyat Belitung dengan menerbitkan Dana Abadi untuk Kesejahteraan Rakyat Belitung di bidang pendidikan dan kesehatan yang di sebut dengan Dana Bevolkingfonds dana itu berjumlah Rp750.000,- Dana itu hingga kini tak ketahuan rimbanya. Bagaimana di bangka? Seperti halnya Belitung, Bangka pun mengalami nasib yang sama tantang sejarah tanah oleh penambangan timah tersebut.
Saat ini persoalan yang sering muncul adalah konflik sosial yaitu berbenturannya masyarakat pemukiman tanah ulayah atau tanah wilayah dengan para pengusaha yang menguasai hutan wilayah mereka, seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit; rakyat sudah merasa memilki tanah ulayah atau wilayah itu sejak turun temurun sebagai sumber hidup mereka, sementara pihak perusahaan yang mengatasnamakan kepentingan yang lebih luas juga merasa berhak atas tanah tersebut Kearifan yang bagaimakah mesti diterapkan untuk menyelamatkan tanah hutan wilayah atau tanah ulayah, sementara kepentingan banyak pihak yang tak berpihak kepada masyarakat setempat terus mengintai? 

DAFTAR PUSTAKA.
By anggunbakhtiar on September 29, 2012
Sumber gambar  : marwan21.blogspot.com